Sadranews-Acara Diskusi Publik dengan tema “Kesucian Kitab Suci Perspektif Agama-agama” digelar di Auditorium Al Mustafa STAI Sadra Jakarta. Acara diskusi ini menghadirkan narasumber Dr. Sapardi, S.Ag.,M. Hum (Ketua Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya), Romo Albertus Purnomo, OFN (Ketua Lembaga Biblika Indonesia dan Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara) dan Dr. Muhsin Labib, MA (Direktur Moderate Institute dan Dosen STAI Sadra).
Acara diskusi yang dibuka pukul 13.30 WIB tersebut, dimoderatori oleh Dr. Benny Susilo dan dihadiri para dosen, mahasiswa dan karyawan STAI sadra, Kamis (31/8/2023) siang.
Dalam sambutannya, Dr. Hasyim Adnan selaku Wakil III Bidang Kemahasiswaan mengatakan bahwa diskusi publik ini diselenggarakan untuk memberikan maklumat tentang sakralitas kitab suci masing-masing agama supaya tidak terjadi aksi-aksi intoleran seperti pembakaran Al Quran sebagaimana terjadi baru baru ini di beberapa negara.
Sementara Dr. Kholid Al Walid selaku Ketua STAI Sadra dalam sambutannya menyampaikan bahwa di antara penyebab terjadinya aksi pembakaran Al Quran adalah adanya gerakan islamphobia, persoalan politik dan di era modernisme sekarang ini dasar utama positivisme dan modernisme tidak lagi memandang nilai-nilai spiritualitas dan sakralitas agama sebaliknya sains dan hal-hal yang bersifat empirik menjadi ukuran utama dalam kehidupan modernisme. Padahal nilai-nilai spiritual dan sakralitas terdapat di seluruh agama. Dalam setiap agama ada sosok suci, ritual suci dan kitab suci.
“Agama-agama ini hidup dengan nilai-nilai sakralitas yang berasal dari Tuhan karena itu hendaknya sesama umat beragama saling menghormati kitab suci masing-masing. Ini keberpihakan kita kepada nilai-nilai sakralitas dalam setiap agama,” tegasnya.
Pada kesempatan ini, Romo Albertus Purnomo, OFN menyampaikan kedudukan kitab suci dalam Gereja Katolik berdasarkan Dokumen Konsili Vatikan II. Dalam dokumen ini ditetapkan bahwa yang menjadi dasar adalah keyakinan terhadap Yesus Kristus yang merupakan keperluan dari pewahyuan Allah. Yesus Kristus adalah manifestasi, utusan dan sabda Allah yang hidup. Tujuan sebagai Kristiani adalah menjadi serupa dengan Yesus Kristus dan salah cara supaya serupa dengan Kristus adalah membaca kitab suci. Membaca kitab suci merupakan cara mengenal Yesus Kristus dan mengikutinya sebagai pedoman hidup. Berbeda dengan Gereja Protestan, pondasi dalam Gereja Katolik bukan hanya kitab suci saja tapi juga tradisi suci. Tradisi suci ialah sesuatu yang diwariskan dari Yesus yang sampai kepada para Rasul dan tidak termaksud dalam kitab suci. Kitab suci dalah sebuah refleksi iman tentang Yesus Kristus.
Dalam Injil yang ditulis setelah empat puluh, lima puluh atau tujuh puluh tahun kematian Yesus, ada empat kitab yang berbicara tentang Yasus Kristus dan semuanya benar lantaran empat kitab tersebut merupakan cara penulis kitab melihat siapakah Yesus Kristus. Injil adalah refleksi tentang siapakah Yesus Kristus itu sendiri. Gereja menimba kepastian tentang segala sesuatu yang diwahyukan dari Allah bukan hanya dari kitab suci. Pondasi keimanan dalam Katolik ada tiga, tradisi suci, kitab suci dan magisterium. Kitab suci adalah kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup ruhani. Gereja Katolik dalam menafsirkan kitab suci di bawah otoritas tertinggi yaitu Konferensi Waligereja.
“Kitab suci adalah sabda Allah yang suci karena mempengaruhi dan membantu pengembangan iman bagi yang membaca, mempelajari dan menafsirkan sehingga orang bisa serupa dengan Kristus yang berarti diurapi atau sampai pada kesempurnaan dan pencerahan,” tuturnya.
Dr. Sapardi, S.Ag.,M. Hum menjelaskan bahwa kitab suci sebagai tuntunan, bimbingan dan petnjuk untuk setiap orang berusaha dengan sekuat tenaganya mencapai kebahagiaan tertinggi atau kesucian atau nirvana. Kitab suci merupakan sarana yang digunakan setiap orang untuk sampai pada tujuan tertentu. Kesucian menurut Buddha adalah terbebas dari kebodohan, kebencian dan ketamakan. Sebab tiga hal ini yang menjadi penyebab kekacuan di dunia dan harus diperangi dengan kitab suci.
Kata Buddha adalah gelar kesucian yang berdasarkan pengalamannya selama 546 tahun dalam fenomena kehidupan setelah mencapai kesempurnaan Buddha memahami dengan kesadarnnya bahwa kehidupan ini dicengkeram oleh ketidak kekalan (Anicca), kehidupan dicengkeram oleh perubahan terus menerus yang menyebabkan ketidak puasan (Dukkha) dan segala sesuatu yang berkondisi terbentuk dari perpaduan unsur dan sesuatu yang tidak berkondisi tidak memiliki inti yang kekal (Anatta).
“Di Buddha ada empat hukum kesunyatan. Pertama, ada duka dalam kehidupan. Kedua, ada sebab duka dalam kehidupan. Ketiga, duka dapat dihentikan dalam kehidupan. Keempat, ada jalan untuk menghentikan duka. Visi ajaran Buddha adalah kesucian yang bisa digapai dengan melakukan tiga misi penting yaitu pertama, menghindari hidup foya-foya dan menyiksa diri, kedua, melaksanakan jalan tengah dan ketiga, fungsi jalan tengah adalah mengatasi kehidupan yang dicengkeram kebodohan, kebencian dan ketamakan. Jadi inti ajaran Buddha adalah tidak berbuat jahat, berbuat baik dan mensucikan hati dan pikiran,” terangnya.
Dr. Muhsin Labib menerangkan bahwa agama-agama dari aspek moral tidak diperselisihkan kecuali oleh orang yang mengalami penyumbatan berfikir. Sebab nilai-nilai moral itu sudah ada dalam nurani atau fitrah manusia. Apa yang disampaikan oleh Yesus dan Siddharta Gotama tidak berbeda dengan apa yang diyakini umat Islam tentang yang disampaikan Nabi Muhammad saw. Karena itu, semua agama mempunyai titik temu dalam moralitas. Perbedaan muncul dalam aspek sosial dan antropologi. Sehingga muncul ekspansi, misionari, intoleransi dan lainnya.yang tidak identik dengan kelompok tertentu. Dalam realitas kongkrit, agama sebagai ajaran tidak lepas dari perilaku penganutnya sehingga muncul gesekan-gesekan. Penistaan terhadap kitab suci merupakan salah satu gesekannya. Dalam hal ini tentu selain Al Quran, kitab suci Taurat dan Injil juga bisa menjadi objek penistaan bukan hanya Al Quran saja.
Dalam Islam kitab-kitab umat terdahulu dianggap suci karena sama-sama berasal dari Tuhan. Kesucian dalam pengertian material atau secara umum berati bersih tapi dalam hukum fikih suci belum tentu bersih dan bersih belum tentu suci. Di samping itu, ada kesucian inmaterial yang mencakup kesucian secara rasional seperti perkataan yang benar yang premis-premisnya bisa divalidasi dengan kaedah logika dan ketika salah menyusun pikirannya menjadi kotor, kesucian secara spiritual yang ditandai dengan perilaku hati yang bersih dan ketika berbuat dosa menjadi kotor, kesucian secara eksistensial sebagai kalam ilahi artinya kesucian yang memiliki kesatuan, memiliki kesempurnaan hakiki dan absolut. Karena itu, kesucian kitab suci yang direduksi dalam bentuk kertas bisa menjadi tidak suci. Lain halnya dengan wahyu yang merupakan ilmu Allah itu suci tapi bentuk penafsiran wahyu tidak suci atau berupa probabilitas.
“Jadi seluruh kitab suci itu suci karena berasal dari Allah tapi tidak bisa menegasikan bahwa secara epistemologis kita bisa mengkafirkan semua yang bisa dikafirkan. Aksi pembakaran kitab suci bukan hanya penghinaan kepada agama tertentu saja melainkan juga penghinaan terhadap Allah sebagai pengarang kitab suci tersebut,” ungkapnya.
Dalam sesi tanya jawab, para mahasiswa/i yang sejak awal antusias menyimak berlangsungnya diskusi publik ini tidak menyia-nyiakan waktu, kesempatan ini mereka gunakan untuk menyampaikan pertanyaan-pertanyaan kepada semua narasumber dan kemudian memperoleh jawaban-jawabannya.