Sadra-News, Rabu, 18/01. Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra mengadakan Forum Temu Pakar (FTP) dengan Tema “Republik Plato ala Ibnu Rusyd”. Acara ini merupakan program rutin Departemen Riset STFI Sadra. Hadir dalam Forum Diskusi ini sebagai Pembicara Dr. Benny Susilo dan Dr. Ammar Fauzi. Acara ini diadakan di Aula Pertemuan Lt.4 Kampus STFI Sadra .
Dr. Benny menyatakan bahwa, Plato memiliki gagasan tersendiri mengenai bagaimana membangun sebuah negara Ideal. Plato meyakini bahwa sebuah negara ideal adalah negara yang dipimpin oleh orang-orang yang memiliki kesempurnaan dalalm pengetahuan. Walaupun Plato beberapa kali merevisi dan menyempurnakan pandangannya, pemikiran ini tetap. dilanjutkan oleh Filosof Muslim bernama Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa sebuah negara menjadi ideal jika dipimpin oleh orang-orang yang memiliki Hikmah. Hikmah menurut Ibnu rusyd terbagi menjadi dua yakni Hikmah yang bersifat Nazariah (teoritis) dan Hikmah Amaliah (praktis) yang membedakan keduanya adalah Subtansi dari Mudu’ (Subject Matter) dan Tujuannya. Adapun hikmah nazariah yang menjadi subject matternya adalah mengenai segala sesuatu yang diluar jangkauan manusia seperti keberadaan alam semesta yang tidak membutuhkan ikhtiar manusia. Hikmah ini seperti mengenai Geometri, Matematika, fisika bahkan musik. Sedangkan hikmah amaliah atau ilmu madaniah adalah ilmu yang dimana membutuhkan ikhtiar manusia dalam merealisasikannya. Ilmu madaniah ini dibagi menjadi dua yakni etika dan politik. Dalam hikmah nazariah, Kesempurnaan akal diukur berdasarkan keberadaan ilmu tersebut dalam benak kita sedangkan kesempurnaan dalam ukuran hikmah amaliah adalah keputusan individual dalam menyikapi kenyataan diluar benak manusia. Orang-orang yang mampu merealisasikan hikmah ini adalah orang-orang yang mampu menjadi pusat dari terbentuknya negara ideal.
Sebagai tambahan Dr. Ammar menyatakaan bahwa, Kalau kita amati para filosof klasik sering terlihat menulis karya-karyanya dalam bentuk alegori, bahkan Ibbnu Tufail yang tidak jauh dari Ibn Sina menulis tentang kisah Hayy Bin Yaqzan. Sampai pada ibnu rusyd, kita tidak menemukan kisah-kisah alegoris ini, berbeda dengan figur yang berpengaruh bagi ibnu Rusyd sendiri yakni Plato. Pola Ibnu Rusyd yang menggunakan pola standar yang “kaku” dalam menafsirkan alegori plato tentang negara Ideal menimbulkan asumsi bagi kita, barangkali saja terjadi reduksi pemikiran sehingga pandangan Ibnu Rusyd tidak benar-benar murni sebagai saduran pemikiran Plato. Namun yang perlu digaris bawahi pernyataan Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid bahwa Ibnu Rusyd menyatakaan bahwa setiap pandangan harus merujuk pada pandangan terdahulu, jika ia sesuai dengan pandangan akal ia harus diterima namun jika tertolak maka wajib debenahi dan disempurnakan. Berbeda dengan Plato yang menyatakan bahwa penguasa (Jihad) dan pengetahuan (Ijtihad) harus terkumpul dalam satu sosok. Namun bagi Ibnu Rusyd tidak harus demikian, karena kita jarang menemui terjadinya kondisi seperti ini, maka menurut Ibnu Rusyd kedua potensi ini bisa berada dalam sosok yang berbeda namun saling melengkapi.
Acara ini diikuti oleh para Mahasiswa, Dosen dan Staff STFI Sadra.