Sadranews-Dalam seminar internasional mengenai Sufisme in Iran and Nusantara Dr. kholid Al Walid Ketua STAI Sadra Jakarta dalam presentasinya menjelaskan tentang pemikiran tasawuf Imam Ghazali dan pengaruh karya-karyanya di Indonesia. Pengaruhnya antara lain, mempopulerkan akidah Asy`ariyah dan fikih Syafi`i, mempengaruhi corak tasawuf akhlaki dan mempengaruhi tidak berkembangnya filsafat. Sebagaimana diketahui dalam pesantren umumnya kitab-kitab fikih yang digunakan merupakan literatur turunan dari karya al Ghazali. Salah satu kitab logika (Mantiq) yang diajarkan di berbagai pensantren banyak menukil pandangan al Ghazali seperti kitab “as Sullam al Murawnaq” meskipun memang jarang ditemukan karyanya di bidang logika.
Ia menambahkan, ada banyak karyanya di bidang tasawuf seperti Ihya` Ulumuddin diajarkan di pesantren dan menjadi rujukan dalam kajian tasawuf. Sementara kitab lain seperti Mishkat al Anwar dan Risalah al Laduniyyah tidak diajarkan mengingat pembahasannya tingkat tinggi dan berat. “Bagaimana pemikiran tokoh asal Persia ini mempengaruhi pemikiran-pemikiran di Indonesia. Dalam catatan Kemenag ada sekitar tiga ratus lebih desertai yang ditulis terkait pemikiran al Ghazali,” jelas Dr. kholid.
Sementara dalam presentasinya Ketua STAI Al Musaddadiyah Garut, Dr. Syaik Abdillah, M.Ag menjelaskan tasawuf adalah pengalaman pribadi terkait batin masing-masing orang yang tidak bisa dikomunikasikan dengan orang lain. Ada kelompok modernis menolak tasawuf dengan asalan konsepnya yang mirip dengan ajaran di luar Islam seperti Wahdatul Wujud, Hulul dan Fana`. Seperti menyatunya Tuhan dan makhluk itu mirip dengan filsafat Panteisme dalam ajaran Hindu. Fana` mirip dengan konsep Nirvana dalam Budha yaitu menyatunya jiwa dengan ruh Ilahi. Begitu pula berkhalwat yang mirip dengan nyepi. Ada kelompok yang menerima tasawuf berlebihan sehingga dengan teori Wahdatul Wujud menganggap dirinya jelmaan Tuhan seperti pandangan Syeikh Siti Jenar. Kelompok lain menerima tasawuf sewajarnya yaitu syariat dan tasawuf (rasa) harus berpadu sebab tidak mungkin syariat tanpa tasawuf juga tasawuf tanpa syariat. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw yang selalu menyibukkan diri dengan ibadah tanpa meninggalkan dunia dan hidup bersama masyarakat.
Ia melanjutkan, dalam sejarah, al Ghazali berjasa dalam mendekatkan syariat dan tasawuf. Sebab, sebelum masa al Ghazali tasawuf yang berkembang adalah tasawuf falsafi berupa teori-teori ketuhanan. Sementara tasawuf menurut al Ghazali lebih mengarah pada pembentukan akhlak. Jadi manusia menuju Tuhan dengan mensucikan diri sehingga selamat dari godaan-godaan duniawi tanpa meninggalkan syariat sepeti taubat, zuhud. Wara` dan lainnya. “Tasawuf pengalaman personal terkait olah batiniah tidak bisa digeneralisir atau dilabeli dengan organisasi-organisasi tapi ada pola-pola bertasawuf seperti NU yang berkiblat pada tasawuf al Ghazali meskipun berbeda dalam amaliah personalnya,” ungkap Dr. Syaik.
Direktur Perwakilan Al Mustafa International University Indonesia, Prof. Dr. Hossein Mottaghi selain menerangkan tentang kedudukan dan sejarah tasawuf dan tarekat termasuk di Indonesia, ia menyebutkan beberapa ciri khas tarekat Naqsyabandiah. Pertama, tarekat tersebut dimulai dan kembangkan oleh para ulama dan satrawannya. Kedua, tarekat tersebut, mengkritisi penyimpangan-penyimpaangan dalam ajaran tasawuf. Ketiga, tarekat tersebut lebih fokus menjelaskan sisi batin atau hal subtansial dari pada sisi lahiriahnya. Keempat tarekat tersebut menjadikan tarekat sebagai penguat pengamalan terhadap syariat. Di Iran ada kelompok Naqsyabandiah pengikut Imam Syafi`i yang menggabungkan tasawuf dan syariat dan ada kelompok Naqsyabandiah yang hanya mengambil tasawufnya saja. Sedangkan mayoritas muslim di sana mengikuti ajaran Islam yang disampaikan melalui Ahlulbait Nabi saw sebagai sumber autentik. Mereka biasa disebut dengan Syiah Dua Belas Imam atau Syiah Ja`fariyah.
Prof. Mottaghi menambahkan, di abad ke sembilan belas pemikiran tarekat as-Syattariyah yang bersifat filosofis dan sempat mendominasi tarekat di Indonesia bergeser menjadi tarekat Naqsyabandiah yang berkaitan erat dengan amaliah dan akhlak. Sebab masyarakat muslim Indonesia lebih menyukai tarekat akhlaki dari pada tarekat falsafi. Ada sekitar seratus buku dalam berbagai bahasa yang menulis tentang tarekat Naqsyabandiah dengan referensi dan bukti yang bisa dipertanggung jawabkan di mana hal ini tidak ditemukan dalam beberapa tarekat lain yang hanya disampaikan secara lisan saja. “Untuk mempertahankan tasawuf di era modern ini, tasawuf harus bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan spiritual dan mampu menjawab persoalan dan pemikiran yang berkembang di dunia modern,” terang Prof. Mottaghi di hadapan para dosen dan mahasiswa STAI Al Musaddadiyah Garut.
Sebagaimana diketahui, seminar internasional berjudul“ Sufisme in Iran and Nusantara” ini digelar di Aula Lt.3 STAI Al Musaddadiyah Garut pukul 10.00 WIB dan dihadiri para dosen, mahasiswa dan tamu undangan. Seminar internasional tersebut terselenggara berkat kerjasama antara STAI Sadra Jakarta dan STAI Al Musaddadiyah Garut, Senin (6/5/2024) pagi.
Selain menggelar seminar internasional, kerjasama dan penandatanganan MoU antara STAI Al Musaddadiyah Garut dan STAI Sadra Jakarta serta antara STAI Al Musaddadiyah Garut dan Perwakilan Al Mustafa International University di Indonesia juga dilakukan.