Jogjakarta 13/08 Dr Haidar Bagir yang juga merupakan dosen STFI Sadra bersama Dr. Muhsin Labib menjadi pembicara dalam Seminar yang diselenggarakan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang mengambil tema “Melacak Jejak Islam dan Islam Nusantara: Mencari Hubungan Organik Antara Islam dan Kebudayaan” pada Kamis 13 Agustus 2015.
Haidar mengatakan, budaya itu sakral dan budaya harus disaring dengan syariat. “Tapi jangan gampang-gampang mengatakan unsur lokal itu bertentangan dengan syariat,” ujarnya. Beberapa kalangan Islam mengkritik wacana Islam Nusantara karena mereka berangkat dari asumsi bahwa Islam dibudayakan. Hal itu terjadi karena mereka beranggapan agama dan budaya merupakan dua hal yang bertentangan. Unsur wahdatul wujud, menurut Haidar, menjadi spirit dari budaya lokal yang bertebaran di bumi Nusantara. Allah bertajalli kemana-mana, kepada benda-benda dan termasuk bertajalli kepada budaya.“Allah bertajalli kepada budaya Arab dengan cara tertentu, Allah bertajalli kepada budaya Cina. Bertajalli ke orang Cina membentuk budaya Cina, bertajalli ke orang Arab membentuk budaya Arab, bertajalli kepada orang India membentuk budaya India, bertajalli kepada orang Parsi membentuk budaya Parsi, bertajalli kepada orang Melayu membentuk budaya Melayu,” terang Haidar Bagir. Dikatakannya, Allah bertajalli kepada makhluk sesuai kesiapannya. Orang Indonesia memiliki kesiapan tertentu yang akan menyaring tajalli Allah sehingga membentuk budaya Indonesia. Tajalli yang diterima orang Indonesia terkait Islam, adalah Islam yang sesuai dengan kesiapan orang Indonesia. Islam Nusantara termasuk Islam yang sesuai dengan kearifan di beberapa tempat lainnya, bisa menyumbangkan sesuatu kepada Islam. Menurut Haidar, makin banyak seseorang belajar local wisdom maka makin lengkaplah pemahamannya tentang Allah Swt karena budaya sebagai salah satu lokus atau madzhar Allah dalam menampilkan diri. “Belajarlah kepada budaya-budaya itu,” pungkasnya.
Sedangkan Dr. Muhsin Labib dalam pembicaraannya mewacanakan adanya agama yang menempati kedudukan secara ontologis dan agama yang menepati kedudukan epistemologis, Agama secara ontologis adalah realitas, dalam hal ini realitas yang tidak dibatasi ruang dan waktu,” jelasnya. Agama secara ontologis menurut para filosof adalah wahyu. Wahyu bukanlah informasi. Wahyu itu adalah realitas. Wahyu itu transenden yang sakral, yang abadi, yang suci. Dia itu ilmu Tuhan, bisa juga dipahami sebagai dzat Tuhan itu sendiri. Agama secara epistemologi adalah persepsi manusia atas wahyu. Dalam hal ini agama dipersepsi sebagai info atau kabar-kabar yang sampai kepada kita. Ketika agama dipersepsi sebagai info, maka agama bisa dimaknai sebagai produk budaya. (Dari Berbagai Sumber)