NOTULENSI BEDAH BUKU SUFISM AND TAOISM. Pembedah: Ustad Musa Kazim “Tasawuf Rasional dan Wahdutul Wujud Ibn Arabi Dalam pemikiran Toshihiko Izutsu dan Tradisi Filsafat Islam.”

Foto Stfi Sadra.Kalau kita berbicara Ibn Arabi adalah suatu imajinasi yang tidak habis kita tafsirkan sebagai suatu keilmuan. Salah satu kelebihan Ibn Arabi adalah karena dia taat menggunakan bahasa arab yang sistematis. Setiap bahasa arab yang ia gunakan untuk mengenalisis wahdatul wujud adalah bahasa yang bukan memiliki makna lahiriah tapi bahasa yang di ditakwilkan secara ontologis. Ibn secara tidak langsung dia adalah sangat literalis. Beliau menjadikan bahasa sesuatu alat untuk mengespresikan pengelaman speritual.

Ibn Arabi seolah sangat tekstual tapi ketika ia menjelaskan justru ia melampau tekstual itu sendiri. Beliau adalah orang yang mampu menjelaskan makna dari kata perkata di dalam al-quran bahkan ia menemukan titik di bawa ba’. Ibn Arabi mencoba menjelaskan pemikrannya mengikuti ayat-ayat al-qur’an dengan makna yang mendalam. Bahasa arab bukan berasal atas letak geografis, budaya dan konteks tradisi yang ada di arab saat itu. Bahasa Arab yang di ciptakan oleh orang arab sangat berbeda dengan bahasa arab dalam al-qur’an. Orang arab tidak memilki peradaban salah satunya tidak memiliki bahasa arab yang has, mereka hanya memiliki syair yang tanpa makna, imajinasi dan khayalan yang bersifat indrawi biologis tanpa memiliki makna realitas ontologis. Bahasa yang di lantunkan oleh al-qur’an justru memiliki makna realitas ontologis yang tinggi dan nyata. 
Sebagian kaum muslimin memahami bahwa al-qur’an adalah hanya sebatas teks dan huruf yang bersambung dan memiliki tanda. Pada hal al-qur’an bukan teks dan bukan huruf tapi al-quran adalah suara atau bunyi yang langsung nampak nyata makna ontologisnya dan di dengar langsung oleh Rasulullah secara langsung tanpa perantara apa pun dan bahkan apa yang di dengar oleh rasullah adalah realitas ontologis itu sendiri, tak ada yang bersifat samar di hadapannya justru itu nyata baginya. Kemudian rasul menjelaskan makna suara atau bunyi itu kepada umatnya dan apa yang di sampaikan oleh muhammad Saw justru sangat mudah pahami oleh umatnya sesuai dengan tingkatan-masing pemahamannya masing-masing.
Ibn Arabi menewarkan untuk menakwilkan sebuah teks al-qur’an ada dua metode yaitu pemahaman ontologis serta menjauhkan interpretasi akal biologis (penyimpulan akal yang di tuntut oleh indrawi). Namun maksud Ibn Arabi bukan menghilangkan akal itu sendiri, tapi bagaimana akal (akal biologis) itu kita lepas agar kita memahami realitas sebagaimana adanya. Orang yang menggunakan akal biologis tak akan sampai pada makna hakiki realitas ontologis bahkan menjauhkan mereka dari realitas itu sendiri. 
Ungkapan Toshihiko Izutsu bahwa Ibn Arabi menyatakan bahwa manusia sedang ketiduran dalam realitas alam ini, apa yang di imajinasikan oleh manusia sekarang bahkan apa yang mereka dapatkan baik harta atau pun kekuasaan itu adalah khayalan semata. Kata Ibn Arabi, itu semus hanya sebatas imajinasi mereka semata yang seolah-olah nampak nyata di hadapan mereka.

Tingkatan-tingkatan pemahaman manusia mengenai bahasa arab yang di bawakan oleh al-qur’an memiliki implikasi sampai pada pemahaman kita mengenai eksistensi Wahdatul Wujud. Manusia yang mengunggulkan akal justru menginterpretasi Wahdatul Wujud sesuai dengan pemahaman pengealaman indrawi mereka dan bukan akal filosofis itu sendiri. Justru akal akal filosofis ini juga memiliki keterbatasan pada dirinya dalam memahami realitas yang begitu tampak dan sangat jelas dan nyata bagi. 
Ibn Arabi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Wahdatul Wujud adalah tingkatan-tingkatan wujud dan tingkatan-tingkatan dalam wujud itu memiliki derajat yang berbeda sesuai dengan kapasitas penampungnya dalam menerima Wujud untuk mewujud. Ibn Arabi tidak menjelaskan eksistensi segala sesuatu dengan menggunakan bahasa penciptaan, sebab menurut Ibn Arabi seolah-olah bahasa ini mengindikasikan makna bahwa segala sesuatu ini berawal dari ketiadaan kemudian menjadi ada atau mewujud. Tapi menurut Ibn Arabi, wujud dan eksistensi keberadaan segala sesuatu yang menjadi fondasi awalnya untuk menjelaskan hakikat segala sesuatu. Sederhannya segala sesuatu berawal dari wujud bukan dari ketiadaan kemudian menjadi ada.

Konsekuensi menggunakan kata penciptaan adalah sesuatu yang seolah-olah memiliki makna keterputusan dan gerak dalam waktu. Ada yang hilang kemudian ada, pemahaman Ibn Arabi tidak memahami seperti itu justru wujud eksisstensi segala sesuatu tidak mengalami keterputusan dan tak terbatasi oleh waktu dan gerak perubahan. Namun, Ia adalah awal dari gerak dan waktu serta perubahan tanpa waktu itu sendiri. 
Tingkatan wujud yang dimaksud oleh Ibn Arabi adalah tingkatan-tingkatan Wujud yang bukan yang di pahami oleh indrawi biologis kita bahwa segala sesuatu memiliki tingkatan secara materil tapi tingkatan Wujud adalah tingkatan yang kasat mata yang dipahami oleh akal manusia yang paling tinggi yaitu akal muqaddas (akal yang tersucikan) bahwa segala sesuatu memiliki kesempurnaannya masing-masing pada dirinya, tapi tidak meniscayakan bahwa kesempurnaan pada suatu tingkatan Wujud memiliki kekurangan jika di bandingkan dengan kesempurnaan Wujud pada tingkatan Wujud yang lain, akan tetapi kesempuranaan Wujud itu mengalir dalam setiap tingkatan Wujud sesuai dengan kapasitas dan derajat penampung kualitas wujud itu sendiri. Tingkatan menerima Wujud inilah yang memunculkan kebertingkatan eksistensi wujud dalam segala sesuatu. Oleh karena itu, Wahdatul Wujud yang di maksud oleh Ibn Arabi adalah Taskik Al-wujud (Gradisi Wujud).

Ibn Arabi, memahami Wahdatul Wujud dengan dua cara yaitu perspektif ontologis (filsafat sebagai metode) dan mukassyafa (penyaksian). Untuk memahami itu, Ibn Arabi menganjurkan kepada kita bahwa harus meninggalkan nalar biologis yaitu akal yang di tundukkan oleh persepsi indrawi kita. Akal yang dimaksud oleh ibn arabi adalah akal muqaddas akal yang tersucikan bahkan akal ini yang mampu menyingkap hakikat realitas ontologis secara emanasi. Akal ini, sejauh yang dipahami serta di gambarkan oleh Ibn Arabi adalah akal yang di milikiki oleh manusia-manusia kamil yaitu Muhammad Saw.

Sebagian besar orang salah memahami pemikirannya bahwa apa yang di sampaikan oleh Ibn Arabi sebetulnya bukanlah dia yang berbicara, yang memahami bukan dia yang memahami justru ada sesuatu yang ada di luar dirinya. Ibn Arabi dalam menyempaikan dan menjelaskan pemikiran Wahdatul Wujudnya ia melepaskan segala sesuatu yang berbaur dengan indrawi biologis bahkan dalam menjelaskan sesuatu ia telah melepaskan egonya sendiri. Jadi menurut Ibn Arabi apa yang dijelaskan oleh beliau adalah bukan berasal dari dirinya sendiri, kesadaran dirinya adalah kesadaran eksistensial.

Oleh karena itu, apa yang di jelaskan oleh Ibn Arabi adalah makna realitas yang sesungguhnya. Pesan Toshihi Izutsu, untuk memahami pemikiran Ibn Arabi mengenai pemikiran Ilmu tasawufnya dan konsep Wahdatul Wujudnya adalah pertama-tama adalah penguasaan terhadap ilmu lenguistik atau ilmu bahasa arab karena ilmu bahasa arab dan penguasaan atasnya adalah pintu awal memahami istilah-istilah dalam pemikiran Ib Arabi. Tentu muncul tanya dalam benak kita bahwa bagaimana Toshihiko Izutsu begitu mudah memahami pemikiran Ibn Arabi, karena Izutsu memiliki kemampuan penguasaan bahasa arab sekaligus menguasai makna-makna ontologisnya.
Dengan demikian, jika dapat kita simpulkan dari penyampaian Ustad Musa Kazim mengenai Tasawuf Rasional dan Wahdutul Wujud Ibn Arabi, dalam pemikiran Toshihiko Izutsu dan Tradisi Filsafat Islam yaitu hanya dengan metode mukassafa dan akal yang suci jiwa manusia mampu menangkap makna realitas ontologis secara langsung dan mampu memaknai secara ontologis apa telah diwahyukan Allah kepada Muhammad Saw

*Sumber Ponpes Madrasah Muthahhari

PROGRAM STUDI

PRODI FILSAFAT

menghasilkan sarjana filosof muda yang memiliki pemahaman luas dan keahlian di bidang filsafat Islam, serta mampu memberikan kontribusi terhadap berbagai persoalan pemikiran Filsafat dan Islam pada masyarakat, baik di tingkat nasional maupun internasional

ALQURAN DAN TAFSIR

menghasilkan para sarjana yang memiliki keahlian dalam bidang Ilmu Al-Quran dan Tafsir, mampu melakukan penelitian fenomena sosial dan keagamaan dan mencari alternatif pemecahanan masalahnya berbasiskan pada Ilmu Al- Quran dan Tafsir.

Jalan. Lebak bulus II no.2 Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430. Call: 021-29446460 Fax: 021-29235438 info@sadra.ac.id

About us

Sekolah Tinggi Filsafat Islam di Indonesia yang fokus pada pengkajian filsafat Islam & Ilmu Alqur’an – Tafsir. Sistem pembelajaran di dasarkan pada perpaduan antara nilai-nilai tekstual (alqur’an & Assunah) dengan pendekatan rasional yang bersumber dari khazanah ilmiah Islam klasik & kontemporer.

diggi.id
STAI SADRA
diggi.id
TUTUP