Seminar Internasional Idul Ghadir “Leadership and Spirituality in The Contemporary Era”

Sadranews-STAI Sadra menggelar Seminar Internasional Idul Ghadir berjudul “Leadership and Spirituality in The Contemporary Era” secara online pada Rabu (20/07/2022) siang.

Acara seminar yang dibuka pukul 13.30 WIB tersebut diikuti oleh kurang lebih tujuh puluh peserta mahasiswa, dosen dan lainnnya. Turut hadir di dalamnya sebagai pembicara, Prof. Dr. Abad Badruzzaman, Lc, M.Ag, Prof. Dr. Saedah Siraj dan Dr. Kholid Al Walid, M.Ag.

Ghadir Khum merupakan tempat antara Mekkah dan Madinah dimana terjadi peristiwa penting dalam sejarah Islam. Di tempat tesebut Nabi Muhammad saw mengumpulkan para sahabat seusai Haji Wida’ pada 18 Dzulhijjah. Ada pesan penting yang ingin beliau sampaikan sehingga beliau sempat menunggu para sahabat yang belum datang dan meminta kembali para sahabat yang telah melewati tempat tersebut. Kemudian beliau melaksanakan perintah Allah yang termuat dalam ayat Tabligh. Beliau menyampaikan pesan, “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka Ali bin Abi Thalib juga sebagai pemimpinnya.”

Artinya bahwa Imam Ali bin Abi Thalib saat itu di Ghadir Khum dikenalkan sebagai pengganti dan khalifah Rasulullah saw. Di antara orang-orang yang hadir di tempat itu adalah para pembesar sahabat yang juga memberikan baiat kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Begitu pentingnya pesan ini sehingga dalam ayat Tabligh disebutkan jika Nabi saw tidak melaksanakan perintah ini, seakan ia tidak menyampaikan risalah-Nya. Setelah peristiwa Ghadir terjadi, turun lah ayat Ikmal, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.”

Dalam presentasinya, Prof. Abad Badruzzaman menyororti tema seminar dari sisi kepemimpinan spiritual kegamaan dan politik Syiah sebagaimana yang ia kutip dari buku karya Fahmi Huwaidi bahwa Imamah sebagai kepemimpinan spiritual keagamaan dan Ziamah sebagai kepemimpinan politik dalam tradisi Syiah terdapat tiga periode kepemimpinan. Pertama, Imamah dan Ziamah berkumpul pada sosok Ali Bin Abi Thalib ketika diangkat sebagai khalifah keempat hingga kepemimpinan putranya Sayyidina Husein. Kedua, Imamah berpisah dari Ziamah ditandai dengan Bani Umaiyah dan Abbasiyah yang kala itu memegang Ziamah sedangkan mereka hanya memegang Imamah. Fase kepemimpinan ini dimuali dari Imam Ali Zainal Abidin hingga Imam Al Mahdi. Ketiga, Fase dimana setelah kegaiban Imam al Mahdi mereka kehilangan Imamah dan Ziamah. Sejak saat itu orang-orang Syiah menyerah kepada keadaan sampai meletusnya Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini.

“Setelah Revolusi Islam Iran orang Syiah mendapatkan momen untuk mengisi kekosongan Imamah dan Ziamah dengan menerapkan sistem Wilayatul Faqih yang merupakan ijtihad politik Imam Khomeini meskipun tidak disetujui oleh semua ulama Syiah kala itu. Hadirnya Wilayatul Faqih mengakhiri sebelas abad kefakuman Imamah dan Ziamah,” ungkapnya.

Sementara itu Prof. Saedah dosen University of Malaya asal Malaysia menyampaikan bahwa seorang pemimpin harus memiliki spiritualitas tinggi dan telah melakukan pensucian jiwa sebab bagaimana ia akan menjadi contoh dan teladan bagi orang lain bila ia belum memperbaiki dirinya. Pembinaan jiwa dan mendapatkan spiritual bisa dengan mengamalkan buku Empat Puluh Hadis karya Imam khomeini. Nabi Muhammad saw diangkat menjadi utusan Allah karena terdapat spiritualitas tinggi dalam dirinya. Begitu juga dengan Nabi Musa as, Ibrahim as, Isa as, Daud as dan Sulaiman as telah terlebih dahulu membina jiwanya dan memiliki spiritual yang tinggi sehingga mampu memimpin masyarakat.

Mereka dapat mengontrol diri dan tetap mendahulukan akhlak Ketika dihadapkan pada beragam persoalan. Beberapa kriteria penting yang harus dimiliki seorang pemimpin spiritual keagamaan adalah kriteria yang dimiliki para Nabi, para pecinta kebenaran, para syuhada, para orang-orang soleh, orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang beriman. Bagi mereka yang tidak memiliki kriteria tersebut maka tidak bisa menjadi pemimpin. “Spiritualitas tinggi merupakan kriteria yang wajib dimiliki seorang pemimpin apalagi di zaman kontemporer ini dan selalu dibutuhkan baik pada zaman dahulu atau sekarang,”ujarnya.

Dr. Kholid Al Walid, M.Ag menjelaskan bahwa terjadinya Ghadir Khum itu sendiri adalah sebuah peristiwa yang disepakati. Dalam peristiwa tersebut ayat tentang kesempurnaan Islam diturunkan “..Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah: 3). Dalam kitab Rasail, bab Tartibul Muluk wal Khilafah Imam Ghazali menyebutkan bahwa telah terkumpul Hujjah pada hari Ghadir Khum dengan kesepakatan seluruh muslimin yang menyebutkan sabda Nabi saw, “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka Ali juga pemimpinnya.” Umar bin Khattab berkata, “ Selamat-selamat wahai Bapaknya Hasan, engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin seluruh pemimpin.” Menurut Al Ghazali, ucapan ini adalah sebuah pengakuan dan kerelaan namun setelahnya menang lah hawa nafsu karena kecintaan pada kekuasaan. Seorang pemimpin yang membawa perubahan kebaikan tidak harus berkuasa sebagaimana Nabi Yusuf as menjadi menteri keuangan bagi penguasa saat itu. Pemimpin yang spiritualis yang bisa membimbing dan membawa masyarakat kepada peningkatan spiritualitas sangat dibutuhkan di zaman sekarang ini. Imam Khomeini, “ Aku merindukan suatu masa dimana senjata berubah menjadi kertas dan tinta dan peradaban manusia bisa mengantarkan pada kemanusiaan.”

“Ada karakteristik kepemimpinan dalam al Quran yaitu, orang-orang terpilih dan bukan semua orang, mukmin dan patuh kepada Allah serta selalu mengajak orang lain untuk taat kepadaNya, memiliki integritas, memiliki kemampuan pengendailian diri yang tinggi, berilmu dan menjadikan setan sebagai musuhnya. Kepemimpinan dalam Al Quran adalah kepeminpinan yang dalam diri seorang pemimpin terdapat hubungan dengan Allah swt,” Tegasnya.

 

 

PROGRAM STUDI

PRODI FILSAFAT

menghasilkan sarjana filosof muda yang memiliki pemahaman luas dan keahlian di bidang filsafat Islam, serta mampu memberikan kontribusi terhadap berbagai persoalan pemikiran Filsafat dan Islam pada masyarakat, baik di tingkat nasional maupun internasional

ALQURAN DAN TAFSIR

menghasilkan para sarjana yang memiliki keahlian dalam bidang Ilmu Al-Quran dan Tafsir, mampu melakukan penelitian fenomena sosial dan keagamaan dan mencari alternatif pemecahanan masalahnya berbasiskan pada Ilmu Al- Quran dan Tafsir.

Jalan. Lebak bulus II no.2 Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430. Call: 021-29446460 Fax: 021-29235438 info@sadra.ac.id

About us

Sekolah Tinggi Filsafat Islam di Indonesia yang fokus pada pengkajian filsafat Islam & Ilmu Alqur’an – Tafsir. Sistem pembelajaran di dasarkan pada perpaduan antara nilai-nilai tekstual (alqur’an & Assunah) dengan pendekatan rasional yang bersumber dari khazanah ilmiah Islam klasik & kontemporer.

STAI SADRA
TUTUP