Sadranews-Dalam rangka memperingati Hari Internasional Anti Islamofobia, seminar nasional dengan tema “Peringatan Hari Internasional Anti-Islmofobia” digelar pukul 14.00 WIB di Auditorium Al Mustafa STAI Sadra Jakarta, Senin (20/03/2023) siang.
Acara seminar yang dimoderatori oleh Egi Sukma Baihaki, MA tersebut dihadiri para dosen, mahasiswa, karyawan STAI Sadra dan tamu undangan. Turut hadir Dr. Abdul Madjid Hakimollahi, Direktur ICC Jakarta, Wakil Duta Besar Iran, Dr. Mahdi Ronagh dan Dr. Hossein Mottaghi, Ketua Yayasan Hikmat Al Mustafa.
Dalam kesempatan ini, Dr. Hakimollahi menjelaskan Islamofobia sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw dimana para pembesar Quraisy kala itu memiliki ketakutan terhadap Islam yang dibawa Nabi saw. Kekerasan terhadap kaum muslimin juga sudah ada sejak dulu seperti pada Perang Salib. Islamofobia adalah gerakan menciptakan image buruk terhadap Islam di benak masyarakat dunia supaya Islam dianggap negatif sebagai agama anti toleransi, penuh kekerasan dan berbeda dengan agama lain. Bahkan secara ekstrem Islam dianggap sebagai gagasan belaka bukan agama. Para penyebar isu Islamofobia juga pernah memperlakukan Kristen dengan kekerasan dan berusaha menghancurkannya. Barat bangga telah mengalahkan sistem sosialis, tapi setelah itu mereka sangat khawatir dengan perkembangan Islam dan pesatnya pertumbuhan populasi muslim di Barat sehingga mereka menciptakan gerakan Islamofobia dan konflik berkepanjangan di antaranya untuk melancarkan produksi dan penjualan senjata.
Sidang Umum PBB mendeklarasikan Hari Anti Islamofobia pada 15 Maret 2022. Deklarasi Hari Internasional Anti Islamofobia tersebut diusulkan oleh lima negara termasuk Iran, Arab Saudi, dan Pakistan. Dalam salah satu butir resolusinya, disebutkan bahwa terorisme, radikalisme dan kekerasan merupakan tindakan yang tidak bisa dihubungkan dengan agama, etnis dan bangsa tertentu. Juga segala bentuk ujaran kebencian kepada kaum muslimin harus dihentikan. “Karena itu tugas kaum mulimin dalam melawan Islamofobia ini adalah bersatu dan mengedepankan rasionlitas dalam mengenalkan Islam kepada dunia serta menghindari segala bentuk tindakan yang dapat mencorang wajah Islam,” pesannya.
Ketua Riset STAI Sadra, Ammar Fauzi Heryadi, Ph.D menyoroti fenomena Islamofobia baik sebagai proyek mapun proses sebagai gerakan untuk menghadang laju perkembangan Islam. Grafik ketakutan terhadap Islam di Barat meningkat seiring dengan bertambahnya populasi muslim di Barat. Dikhawatirkan pada tahun 2050 nanti Islam akan menjadi mayoritas di Barat. Di kalangan para pemikir Eropa sendiri istilah Islamofobia menjadi polemik. Sebenarnya, Islamofobia bisa menguntungkan muslimin lantaran tindakan anarkis yang dilakukan dijustifikasi sebagai respon terhadap gejala Islamofobia. Pada tahun 2006 Salman Rusydi mengadakan pertemuan dengan sejumlah koleganya dan mengganti istilah Islamofobia dengan “Against a New Totalitarianism”. Bagi Salman Rusydi, salah satu sosok pemicu menguatnya Islamfobia di Barat, isu Islamfobia tidak menguntungkan dunia Barat, malah menguntungkan dunia Islam. Islamfobia sangat efektif untuk menjustifikasi tindakan-tindakan yang mengatasnamakan Islam terhadap non muslim. Termasuk sekedar tersinggung dengan pernyataan yang menyudutkan atau luapan emosi terkait agama, akan langsung dianggap sebagai tindakan Islamofobia.
Di kalangan muslim Islamofobia direspon dengan tindakan-tindakan ekstrem seperti dukungan terhadap Isis di Indonesia di awal-awal kemunculannya dan penyaluran donasi kepada Isis meskipun dikumpulkan dari sumbangan atas nama perjuangan Islam dan kemerdekaan Palestina. Di samping itu, berdirinya pemerintahan Thaliban sendiri berdampak pada Islamofobia tanpa perlu ditakut-takuti oleh Barat. Di sisi lain, kemunculan Islam Rahmatan Lil`alamin, Islam Toleran, Islam Cinta, Islam Wasathiah, Islam Progresif dan Islam Nusantara di Indoensia sebagai respon dari Islamofobia dan Islam Ekstrem, adalah narasi yang perlu diwaspadai agar tidak terjebak dalam titik ekstrem yang sama.
“Terkait dengan Islam Rahmatan Lil`alamin sekelompok delegasi dari Indonesia pergi ke Telaviv dan dengan nama Islam tersebut mereka mengakui Israel sebagai negara yang berkedudukan sama dengan Palestina padahal Israel penjajah. Seolah-olah kemerdekaan Palestina tidak kontradiktif terhadap penjajahan Israel. Intinya, memerangi Islamofobia untuk menciptakan perdamaian dan kerukunan di atas keadilan yang dibangun dengan Al Quran dan filsafat,” tegasnya.
Sementara Dr. Ronagh mengingatkan bahwa gerakan Islamofobia terus ada hingga kini dan didukung penuh oleh Zionisme Internasional. Sekarang ini gerakan Islamofobia dilakukan secara terang-terangan lewat media sosial yang merupakan media paling ampuh. Perusahaan-perusahaan media di Barat juga berperang aktif dalam menyebarkan gerakan ini. Barat bukannya memprotes tindakan Salman Rusydi yang menulis buku kotroversial berjudul “Ayat-Ayat Setan” malah mendukungnya di saat muncul gelombang besar protes dari kaum muslimin. Perusahaan-perusahaan media dan media-media berita di Barat sangat masif memberitakan Islam sebagai agama berwajah bengis dan muslimin sebagai teroris. Contohnya peristiwa penyerangan Menara Kembar WTC pada 11 September untuk melemahkan dunia Islam dan menyebutnya sebagai agama teroris.
Bukti rekayasa serangan 11 September untuk melemahkan dunia Islam adalah tidak adanya satu pun orang Yahudi yang terbunuh dalam peristiwa tersebut. Lalu dengan dalih yang dibuat-buat (memerangi teroris) dan untuk kepentingan tertentu, Amerika mengintervensi negara Irak. Barat menganggap teroris tidak ada di Barat, teroris hanya ada di negara-negara muslim di Timur Tengah. Padahal menurut pengakuan Hillary Clinton Isis itu buatan Amerika. Krisis yang terjadi di dunia Islam khususnya di kawasan Timur Tengah, hasil dari intervensi militer Barat. Tujuan memerangi teroris adalah untuk menampilkan wajah bengis Islam di mata dunia melalui media-media besar yang mereka kuasai.
“Pembakaran Al Quran dan Pembuatan Karikatur yang menghina Nabi Muhammad saw adalah tindakan yang dilakukan untuk melawan Islam yang mereka anggap bengis. Sehingga dunia menganggap Islam sebagai agama terbelakang dan penuh kekerasan serta membencinya. Karena itu, kaum muslimin harus bersatu dalam menjaga simbol-simbol Islam yang sakral supaya mereka tidak berani lagi melakukan penghinaan. Semoga Islam dapat menciptakan kesejahteraan dan perdamaian di seluruh dunia,” tandasnya.