Santri
Berdasarkan letak dan tempat sasaran ekspasi, kelompok skirptural mengintensifkan ekspansinya di wilayah-wilayah non pesisir Jawa, karena sejumlah faktor sebagai berikut:
Wilayah pesisir Jawa terutama Jawa Timur yang dikenal dengan wilayah Tapal Kuda didominasi oleh masyarakat santri, sebagaimana disebutkan dalam teori Clifford Greetz.
Secara sosial, masyarakat santri memang hidup sebagai santri baik secara sosial maupun pendidikan. Santri umum adalah orang yang hidup secara sosial sebagai santri. Umumnya mereka hidup dalam lingkungan yang dekat dengan agamawan (kyai). Pola kehidupan mereka pun cenderung nyantri seperti mengenakan sarung, peci dan baju koko. Santri umum adalah mantan santri pendidikan, yang telah berumahtangga dan menjalani ragam profesi. Sedangkan santri pelajar adalah orang yang mengenyam pendidikan di lembaga tradisional keagamaan dari jenjang dasar hingga jenjang terakhir. Santri khusus kadang tidak hanya mendalami ilmu agama di pesantren, namun juga menjadi khadim atau relawan yang melayani keluarga kyai atau santri muda. Bila telah menyelesaikan jenjang pendidikan terakhir, ia menjadi pengajar di pesantren almamaternya. Bila telah lama mengabdi dan dianggap mumpuni, kyai pemimpin pesantren menyarankannya untuk membuka pesantren sendiri di wilayah lain.
Pola interaksi dan komunikasi masyarakat santri (santri umum) dengan santri khusus terutama kyai cenderung vertical (buttom up). Penghormatan temurun dalam pola hubungan sosial inilah yang dapat dianggap sebagai kendala sosial masuknya skripturalisme.
Masyarakat santri dengan dua pola kesantrian ini secara sosial sulit sekali menerima ajakan pola komunikasi setara yang menjadi salah satu ciri khas kelompok skriptural yang secara sosial tidak punya basis massa di wilayah itu. Dengan kata lain, skripturalisme tidak akan mudah menemukan basis sosialnya di wilayah pesisir.
Secara kultural, masyarakat santri yang menempati wilayah pesisir adalah komunitas yang terbentuk dari warisan tradisi dan budaya keagamaan dari para pendakwah yang datiag dari Persia, India dan Cina. Islam yang masuk dan diterima di Nusantara adalah Islam yang telah mengalami proses lokalisasi dan akulturasi serta akomodasi budaya Timur. Masyarakat Nusantara, terutama Jawa, sebelum memeluk Islam, adalah masyarakat yang secara kutural menganut Hinduisme dan dinamisme, yang memiliki kesamaan dalam aspek esoterik. Karena kesamaan dan kemiripan dalam aspek mistik dan esoterik inilah, Islam yang dibawa oleh para pendakwah dari wilayah yang didominasi oleh kultur Islam sinkretis atau terwarnai oleh Hinduisme, Budhisme dan Zoroastranisme, masyarakat Jawa bisa menerimanya. Para sunan sukses menyebarkan Islam karena pola akomodasi dan penghargaannya terhadap budaya lokal masyarakat Nusantara. Tidak sedikit pendakwah yang dinobatkan sebagai pejabat bahkan putra mahkkota.
Skripturalisme Islam yang merupakan produk asli wilayah Arab setelah runtuhnya Pemerintahan para syarif di Hijaz dan jatuhnya Dinasti Otoman, tidak memiliki latarbelakang budaya yang harmonis dengan identitas dan tradisi masyarakat Jawa terutama pesisir. Malah karena pola keberagamaanya yang skriptural dan berwatak Arab, Islam skriptural mengangkat jargon pembasmian terhadap budaya yang dinilainya bertentangan dengan Islam yang dipahaminya secara skriprtural dan sebagai agama anti klenik dan khurafat.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan ialah, masyarakat Jawa terutama masyarakat santri terbentuk oleh esoterisme Islam, yang dikenal dengan Tasawuf. Sebagaimana diketahui dan tak dapat dibantah, tasawuf adalah produk Islam di luar tanah Arab, yaitu Persia. Lebih tepatnya lagi, tasawuf adalah warisan pemikiran Islam yang diidentikkan dengan keluarga Nabi yang sepanjang sejarah lebih diterima oleh masyarakat non Arab. Manunggaling Kawula Gusti, yang hingga sekarang masih dipelihara dalam tradisi tasawuf, bisa dipastikan terkait dengan ajaran batin para pendakwah dari Persia dan Gujarat, yang datang ke Indonesia dengan memperkenalkan sejarah keluarga Nabi, terutama Ali, Siti Fatimah, Hasan dan Husain.
Skripturalisme Islam yang datang belakangan dari Saudi yang telah dikuasai oleh klan Saud yang berkolaborasi dengan Muhammad bin Abdul Wahab telah mendeklarasikan sebagai Islam yang menentang penghormatan kepada keluarga Nabi, bahkan sebagian pengikutnya menafikan fakta keberadaaan anak keturunan Nabi SAW. Inilah yang juga dapat dianggap sebagai kendala kultural bagi masuknya Islam skriptural ke wilayah pesisir Jawa.
Secara emosinal, masyarakat santri memiliki hubungan emosional dengan keluarga Nabi dan tradisi penghormatan yang diekspresikan melalui upacara-upacara seperti Maulid dan Haul dan lainnya.
Penghormatan kepada keluarga Nabi dalam masyarakat santri berlanjut hingga perlakukan khusus kepada siapa saja yang diyakini sebagai keturunan Nabi. Karena itu pula, tidak mengherankan bila pahlawan Indonesia seperti Pangeran Diponegoro dan lainnya diyakini sebagai seorang sayyidin panotogomo. Kesultanan Yogjakarta dan Kraton Solo juga disebut-sebut memiliki hubungan genetik dengan Rasulullah, sebagaimana disebutkan dalam buku-buku sejarah. Bahkan sejumlah ulama besar seperti Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan, Kholil Bangkalan, Bisri Mustofa dan lainnya diyakini sebagai dzurriyah dari marga Bin Sahal dan Azhamat Khan.
Dengan kara lain, skripturalisme yang lahir dari konflik dan identik dengan sinisme terhadap para asyraf di Hijaz tidak hanya tidak diterima namun ditentang karena dianggap sebagai bahaya yang mengancam identitas dan pusaka budaya lokal.
Secara teologis, masyarakat santri adalah komunitas yang menganut Islam mazhab Sunni dengan teologi Asyariah. Mazhab kalam yang dinisbatkan pada Abul Hasan al-Asyari ini dibangun karena menolak rasionalisme ekstrem Mu’tazlah dan skripturalisme ekstrem Ahl-Hadits (yang kelak dikenal dengan Salafi). Teologi Asy’ariyah tidak jarang menjadi sasaran kritik bahkan hujatan dari para penganut Ahlul-Hadits. Konflik berdarah seputar Kalam Allah antar dua pengikut dalams ejarah adalah bukti dikotomi dua mazhab teologi ini.
Belakangan PBNU mulai merasakan pentingnya mengantisipasi pola keberagamaan skriptural ini yang dikhawatirkan menganggu tatanan sosial keagamaan yang telah terbentuk sejak lama akibat ekspansi intensif kelompok skriptural intoleran ini. Yang mungkin membuat PBNU khawatir adalah keberhasilan kelompok ini menggunakan nama Ahlussunnah dan Salaf, yang semula identik dengan NU, sebagai Islam Sunni asli di Indonesia.
Lalu, siapa yang paling potensial untuk menerima ajakan Islam skriptural? Jelas bukan santri, apalagi sebagian generasi muda kalangan santri telah mengenyam pendidikan modern, bahkan sebagian dari mereka cenderung liberal dan pluralis. Yang potensial untuk menjadi sasaran efektif adalah kalangan abangan dan sebagian kalangan priyayi (perkotaan).
Abangan
Masyarakat Abangan, adalah komunitas Jawa yang umumnya menghuni wilayah pegunungan atau daratan di pulau Jawa, yang juga disebut wilayah “Mataraman”. Banyak definisi dan pengertian tentang Abangan. Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakakan oleh Clifford Geertz, namun saat ini maknanya telah bergeser. Abangan dianggap lebih cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah). Dalam sistem kepercayaan tersebut terdapat tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme. Namun beberapa sarjana berpendapat bahwa apa yang secara klasik dianggap bentuk varian Islam di Indonesia, seringkali merupakan bagian dari agama itu sendiri di negara lain. Sebagai contoh, Martin van Bruinessen mencatat adanya kesamaan antara adat dan praktik yang dilakukan dahulu kala di kalangan umat Islam di Mesir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Edward Lane. (Geertz, Clifford, The Religion of Java, University Of Chicago Press 1976; Achmad Chodjim, “Mistik dan makrifat Sunan Kalijaga”, Penerbit Serambi, 2003, hlm. 149).
Masyarakat abangan dari beberapa aspek bisa dianggap bertentangan bahkan membenci Islam, bukan karena kebencian teologis, namun bersifat soisologis dan psikologis. Akibat konflik-konflik sejarah masa lalu antara Siti Jenar dan Sunan Giri atau polemickpolemik pemikiran yang sempat mengemuka, Islam di Indonesia bisa dibagi dalam dua pola kecenderungan, yaitu Islam santri yang belakangan diidentikkan dengan NU dan Islam hijau.
Konflik kultural dan keagamaan ini diperparah oleh konflik politik di era modern, yaitu penumpasan para simpatisan PKI yang umumnya dari kalangan abangan. Tidak adanya proses hukum yang adil dan rehabilitasi terhadap korban pembantaian sewenang-wenang atas nama agama (terutama lagi dikaitkan dengan aksi para santri dan Ansor atau Banser pada masa itu) inilah yang bisa dijadikan sebagai “bekal” ekspansi kelompok Islam skriptural, yang memang secara teologis (kemazhaban), kultural dan sosial berseberangan dengan Islam Sunni mainstream alias NU.
Karena itu, tidaklah mengherankan bila pesantren-pesantrean non NU yang umumnya bercirikan skriptural tumbuh pesat di wilayah-wilayah yang dahulu dikenal basis abangan, seperti Solo, Yogjakarta, Madium, Ponorogo, Klaten dan lainnya. Gerakan-gerakan radikal juga berkembang pesat di sepanjang wilayah itu.
Selain karena faktor diatas, Islam skriptural, yang menjadi bibit radikalisme dan intoleransi, mendapatkan tempat di wilayah mataraman karena, masyarakat abangan sejak semula bisa dianggap sebagai korban kesalahpahaman terhadap Islam yang direpresentasi oleh santri. Kesalahpahaman ini telah membuat mereka enggan untuk mendalami Islam bahkan menjalankan syariat Islam, yang dianggap sebagai ajaran yang menghapus warisan budaya lokal. Karena itu, ajaran radikalisme Islam yang bercorak wahabi dan anti tradisi santri diterima, bukan lantaran kesamaan pandangan, namun karena menjadi titik konvergensi perlawanan terhadap Islam santri. Meski demikian, sebagian masyarakat abangan tetap bersikap negatif terhadap Islam skriptural, bahkan dalam beberapa tempat sering terjadi konflik sosial antara pesantren Islam radikal dan masyarakat abangan sekitarnya.
Perkotaan
Sasaran ekspansi Islam skriptural di perkotaan dapat dibagi dalam beberapa kategori dan pola. Salah satunya adalah lembaga-lembaga pendidikan non agama, mulai dari SD Negeri hingga perguruan tinggi kenamaan seperti ITB,Unair dan UI serta lembaga bimbingan belajar juga sekolah-sekolah swasta Islam berlabel plus. . Di lembaga-lembaga inilah para pendakwah Islam skriptural memasang jejaring dengan memprioritas sasaran-sasaran cerdas, tidak berasal dari keluarga relijius dan berwatak penurut.
Bersambung…