Sadranews-STAI Sadra menggelar kegiatan Forum Group Discussion (FGD) dengan tema “Irfan dalam Pandangan Imam Ghazali” bersama narasumber Prof. Dr. Muhammad Jawad Roodgar (Dosen Irfan dan Peneliti di Lembaga Penelitian Humaniora Republik Islam Iran) di Meeting Room Lantai 4 Kampus STAI Sadra Jakarta.
Acara FGD yang dibuka pukul 14.00 WIB tersebut dihadiri para dosen dalam dan dosen luar STAI Sadra dan berlangsung penuh khidmad selama lebih dari dua jam.
Dalam sambutannya, Ketua STAI Sadra Dr. Kholid Al Walid menyampaikan ucapan terimakasih kepada Prof. Javad yang telah meluangkan waktunya untuk mengunjungi Kampus STAI Sadra dan menyampaikan materi dalam acara FGD kali ini. “Semoga para dosen dapat mengambil pelajaran dan manfaat dari materi yang akan disampaikan Prof. Javad,” ujarnya.
Sementara Prof. Jawad dalam presentasinya terkait tema FGD menjelaskan terlebih dahulu makna akhlak dan irfan atau tasawuf sebelum menyampaikan pandangan Imam Ghazali. Menurut Allamah Thaba`thaba`i dalam Tafsir Al Mizan disebutkan bahwa akhlak adalah karakter yang melekat dalam diri manusia baik berupa karakter baik maupun karakter buruk, tapi umumnya akhlak cenderung digunakan untuk karakter-karakter baik saja. Akhlak sebagai karakter yang melekat dalam jiwa manusia merupakan basis kemunculan perbuatan-perbuatan ikhtiari. Dalam surat al Isra`, ayat 84 Allah berfirman, “Katakan lah wahai Muhammad bahwa setiap orang akan berbuat berdasarkan bentukannya.” Bentukan atau karakter terbuat dari usaha manusia itu sendiri. Mulla Hadi Sabzewari berkata, “Hakikat diri seseorang tidak lain adalah karakter-karakternya sendiri yang terbentuk secara bertahap.” Dalam Al Quran bentukan ada dua yaitu bentukan Tuhan yang tidak berubah-ubah dan taktergantikan dan bentukan produksi manusia dimana bentukan atau karakter ini yang dibentuk oleh akhlak. Sementara istilah irfan adalah pengenalan melalui penyaksian hakikat terhadap Allah dan nama-namaNya.
Irfan adalah mendekatkan diri kepada hakikat mutlak melalui penyucian jiwa dan penyujian jiwa berdasarkan penempuhan persinggahan-persinggahan dari tingkat paling rendah hingga tingkat paling tinggi yang dalam Al Quran disebutkan dengan istilah Ilmul Yakin, Ainul Yakin dan Haqqul Yakin. Penempuhan hakikat bertolak melalui Ilmul Yakin sampai pada, Ainul Yakin dan bahkan Haqqul Yakin. Untuk itu, secara ringkas irfan atau tasawuf adalah penyaksian hakikat mutlak dan bagaimana diri manusia menyandang sifat-sifat ilahi. Allamah Hasan Zadeh Amuli dalam menjelaskan makna terminologis irfan atau tasawuf dalam bukunya berjudul “Manusia dalam Tradisi Irfan” mengatakan bahwa irfan atau tasawuf bukan membaca Tuhan, bukan mengenal Tuhan, bukan mencari Tuhan tapi berwarna dengan warna Tuhan. Seseorang tidak akan sampai pada tingkat tinggi hakikat kecuali ia mampu melahirkan dirinya untuk yang kedua kali.
Kelahiran kedua adalah kelahiran secara ikhtiar dan kesadaran manusia yang berupa kelahiran metafisikal dan idiologikal manusia. Akhlak irfani atau tasawuf adalah akhlak yang di dalamnya ditemukan pembelajaran tentang sifat-sifat keutamaan akhlak dimana pembangunan keutamaan-keutamaan dan penghancuran keburukan-keburukan akhlak menjadi tujuan utama. Meski demikian esensi dari akhlak irfani tidak hanya fokus pada akhlak. Akhlak itu satu nilai yang tidak bergradasi dan tidak herarkis. Satu nilai tidak diperoleh dengan menunggu sempurnanya nilai yang lain. Karena itu dalam akhlak dapat dilihat seorang yang merendah diri pada saat yang sama pendengki, tapi dalam irfan atau tasawuf tidak demikian, tasawuf hanya akan membentuk akhlak seseorang ketika satu nilai sudah disempurnakan lalu ia membangun nilai berikutnya. Dalam tasawuf ada jenjang dalam membentuk nilai etika. Karena itu etika tasawuf digambarkan dalam kitab seperti Mi`rajus Saadah, Jamius Saadah dan lainnya.
Esensi tasawuf dapat membentuk akhlak sehingga jenjangnya bisa ditemukan mulai dari sebelum mencapai, ketika mencapai dan setelah mencapai hakikat. Salah satu ulama yang memiliki kontribusi besar dalam penggagasan dan pengembangan akhlak tasawuf adalah Imam Ghazali melalui beberapa karyanya seperti Kimiya`us Saadah, al Arba`in, Minhajul Abidin, Misykatul Anwar dan Ihya` Ulumudin. Meskipun materi-materi yang dikemukakan al Ghazali dalam kitab Ihya` Ulumuddin lebih bersifat pribadi dan berkembang dalam kerangka uzlah tetapi implikasinya tidak terlepas dari sosial. Karena itu akhlak tasawuf adalah akhlak yang komprehensif yang juga mengandung makna-makna kemasyarakatan. Akhlak terbentuk dengan keterikatan eksistensial manusia terhadap nilai dan harus ditingkat menjadi akhlak dalam bentuk tindakan sebagaimaan dalam kaedah filsafat disebutkan bahwa segala sesuatu selama tidak menginviduasi tidak akan nyata. Bagaimana akhlak ini merupakan bagian dari individualitas seseorang sehingga ia menjadi nyata. Akhlak tasawuf yang disampaikan al Ghazali berbasis pada syariat dalam pengertian umum, syariat itu merupakan kerangka bagaimana akhlak tasawuf berkembang dan tumbuh dalam diri manusia. Syariat bermakna khusus seperti sebuah spektrum yang di dalamnya terdapat banyak lapisan.
“Al Ghazali dalam kitab Ihya` Ulumuddin mengemukakan syariat yang secara lahiriah berorientasi kepada akhlak tasawuf. Kemudian lebih esoterik dikemukakan dalam kitab al Arab`in dan lebih isoterik lagi diterangkan dalam kitab Misykatul Anwar. Al Ghazali menulis karya-karya tasawufnya terutama dalam kitab Ihya` Ulumuddin berdasarkan irfan praktis bukan teoritis. Sebab al Ghazali tidak merumuskan tasawufnya secara filosofis mengingat hubungannya yang tidak baik dengan filsafat. Al Ghazali mengungkapkan perjalanan intelektualnya dalam kitab Misykatul Anwar yang tidak mencerminkan kehadiran filsafat dalam transformasi intelektualnya,” terangnya.
“Tasawuf praktisnya al Ghazali tidak sepenuhnya tepat bila berharap dapat menemukan perjalanan suluk irfani dalam karyanya secara terminologis dan teknis. Tasawuf di tangan Ibnu arabi didisiplinkan secara sistematis. Di dalam Syiah istilah irfan yang sudah dikenal sejak abad ketiga Hijriah, lebih akrab digunakan dari pada istilah tasawuf sebab dalam tradisi Syiah ada kesan negatif terkait istilah tasawuf. Dan secara sosial menjadi tuduhan yang tidak baik untuk seseorang. Seolah-olah tasawuf atau sufi berada dalam aliran yang menyimpang karena tidak komitmen pada syariat,” pungkas Prof. Jawad di hadapan para dosen, Jumat (29/9/2023) siang.
Acara FGD ini berujung pada sesi tanya jawab yang banyak dimanfaatkan kesempatannya oleh para dosen dengan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan. Setelah selesai sesi tanya jawab, acara FGD ini diakhiri dengan doa penutup, kemudian dilakukan poto bersama.