Terbit TANZIL, Jurnal Studi Al-Quran STFI Sadra Vol. 1 Nomor 2

Al-Qur’an memiliki sisi lahiriah berhubungan dengan tanzīl dan sisi batiniah yang berhubungan dengan ta’wīl.

Penyingkapan sisi lahiriah dan batiniah al-Qur’an ini, baik metodologi perolehan, konten, maupun tolok ukur kebenarannya telah menimbulkan diskursus ilmiyah luas dan mendalam oleh kalangan mufasir.

Para mufassir dan pakar  ulumul Qur’an menerapkan standar yang sangat ketat dan berhati-hati menyangkut kerja epistemologis tafsir dan ta’wil. Kehati-hatian ini berangkat dari terlarangnya penafsiran al-Qur’an dengan ra’yu (bi al-ra’y).

Peluang masuknya ra’yu dalam penafsiran dan penakwilan al-Qur’an dibuka oleh implikasi ontologis dari sistem kerja epistemologi pada manusia.

Pada diri manusia satu-satunya fakultas persepsi yang memiliki kemampuan konsepsi (tashawwur) dan asensi (tashdiq) hanya lah akal saja, sebut saja ini sebagai akal dalam arti umum (al-‘aql bi al-ma’nā al-a’amm) atau diringkas akal umum. Akal umum bekerja secara takwiniyah dengan beberapa prinsip utama logika. Maksud takwiniyah di sini adalah ada beberapa prinsip utama logika yang penolakan terhadap prinsip-prinsip tersebut secara ikhtiyari melazimkan penerimaannya secara takwini. Prinsip-prinsip ini ada sebelum proposisi, bahkan yang menjadi pembentuk proposisi dalam pikiran. Misalnya prinsip identitas (mabda’ al-hawiyyah), dengan dua turunannya, prinsip non kontradiksi (mabda’ al-tanāqudh) dan prinsip penegasian kemungkinan ketiga (mabda’ nāfi al-thālisah); prinsip sebab mencukupi (mabda’ al-sabab al-kāfī), dengan turunannya prinsip kausalitas (mabda’ al-‘illiyyah) dan prinsip substasi (mabda’ al-jawhariyyah). Ketika melakukan kerja konseptual dan asensial akal umum ini memiliki empat modus yaitu:

Modus pertama: akal umum dengan kemampuannya sendiri tanpa bantuan fakultas persepsi lain melakukan kerja konseptual dan asensial. Jika akal umum bekerja hanya dengan konsep-konsep swabukti atau konsep teoritis yang berakar pada konsep swabukti dan proposisi-proposisi yang jelas (bayyinah), niscaya asensi (dharūriyyah al-tashdiq), universal (kulliyyah), esensial (dhātiyyah) dan primer (awwaliyyah) maka akal ini disebut akal dalam arti khusus (al-‘aql bi al-ma’na> al-akhash)  yang disebut juga akal demonstratif (al-‘aql al-burhānī). Akal demeonstratif ini lah yang diterapkan dalam filsafat rasional (al-hikmah al-bahthiyyah). Tentu di tahap selanjutnya melalui akal demonstratif lahirlah pandangan dunia (worldview) rasional. Di sinilah terbuka pintu masuk bagi penafsiran atau penakwilan al-Qur’an dengan akal demonstratif atau klaim-klaim filosofis.

Modus kedua: akal umum tidak mungkin melakukan kerja konseptual dan asensial kecuali dengan bantuan fakultas inderawi. Misalnya pada konsepsi konsep-konsep inderawi warna, bau, bentuk, rasa, suara dan tekstur; dan pada asensi proposisi-proposisi eksternal inderawi seperti: gigi taring harimau tajam, awan putih. Ada dua metode bagi akal umum dengan bantuan indera dalam hal mengasensi proposisi yang tidak jelas (ghayr al-bayyinah) pada dirinya sendiri, pertama: metode induksi (al-istiqrā); dan kedua: metode eksperimen (al-tajrubah). Metode induksi melalui perantaraan indera lahiriyah tidak menghasilkan keyakinan, karena apa yang tidak disaksikan mungkin saja berbeda hukumnya (ma lam yuhass la yamtani’ al-khilāf), sedangkan induksi dengan akal melazimkan bukan induksi. Metode eksperimen menghasilkan keyakinan, karena dengan proposis pada silogisme tersembunyi (al-qiyas al-khafī): Kebetulan tidak mungkin terjadi selalu maupun sering (al-ittifāq lā yakūn dāimiyyan wa lā akthariyyan). Ketika suatu peristiwa terjadi secara terus menerus atau pada kebayakan momen maka pastilah ada sebab esensial yang bekerja di sana. Akan tetapi perlu dicatat bahwa eksperimen sebagai eksperimen tidak menghasilkan keyakinan universal silogismik mutlak, tetapi hanya keyakinan universal silogismik bersyarat. Kalau pun tercapai keyakinan universal silogismik mutlak maka bukan oleh ekpserimen sebagai eksperimen, tetapi oleh proposisi lain di luar eksperimen tersebut. Melalui metode ini dihasilkanlah klaim-klaim saintifik. Di sinilah terbuka pintu masuk bagi penafsiran dan penakwilan al-Qur’an dengan secara saintifik.

Modus ketiga: akal umum tidak mungkin melakukan kerja konseptual dan asensial kecuali dengan bantuan pengalaman internal (wijdān). Misalnya, sedih, gelisah, sakit dan sebagainya. Para ahli logika dan filosof muslim ketika membahasa proposisi-proposisi yang meyakinkan (al-yaqiniyyāt) memasukkan proposisi-proposisi hasil penyaksian (al-mushādāt) sebagai salah satunya. Proposisi-proposisi hasil penyaksian (al-mushādāt) jika dihasilkan akal dengan bantuan indera lahiriah disebut proposisi-proposisi inderawi (al-makhshūst), jika dengan bantuan pengalaman internal maka disebut proposisi-proposisi wujdani (al-wujdāniyyāt). Shaikh Ishrāq, Suhrawardī, memperluas penyaksian (mushāhadah) penyaksian hati (mushāhadat al-Qolb) dan menempatkan penyaksian hati para teosof besar (al-hukamā al-‘udzamā) setara proposisi primer swabukti (al-awwaliyyāt al-badihiyyāt). Jika hakikat yang dialami para urafa dan teosof yang merupakan modus ilmi huduri tersebut disusun dalam bentuk disiplin ilmu husuli akademik dengan subyek pembahasan (mawdū), prinsip-prinsip (mabādī’) dan masalah-masalah (masāil) tersendiri, dengan prosedur demonstratif maka dihasilkanlah ilmu irfan teoritis (‘ilm al-‘irfān al-nadharī). Di sinilah terbuka pintu masuk bagi penafsiran dan penakwilan al-Qur’an dengan secara irfani, isyari maupun nadharī.

Modus keempat: akal umum tidak mungkin melakukan kerja konseptual dan asensial kecuali dengan bantuan teks, ayat atau riwayat. Misalnya, proposisi shalat zuhur adalah wajib tidak mungkin bisa diasersi dengan akal demonstratif atau akal dengan batuan indera lahiriyah atau akal dengan bantuan pengalaman internal. Proposisi ini  hanya bisa diasensi oleh akal umum dengan batuan ayat dan riwayat. Untuk keperluan itu kemundian dikembangkanlah ilmu usul fiqih dengan metode dialektika (jadāliyyah) berpijak pada proposisi-propoposi yang diterima kebenarannya oleh ummat islam (alqadhāyā al-musallamāt), baik dari sumber-sumber bahasa maupun syara’. Dengan cara yang serupa kemudian dikembangkan ilmu tafsir, ulumul Qur’an dan Prinsip-Prinsip (ushūl al-tafsīr). Ketika akal umum ini bekerja dengan proposisi-proposisi ayat dan riwayat, baik berupa perkataan Nabi saw, dalam menafsirkan al-Qur’an maka lahirlah tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an dan tafsir al-atharī (bi al-ma’thūr).

Implikasi ontologis dari sistem kerja epistemologi pada manusia ini tidak saja telah menghasilkan berbagai metode dan corak tafsir tetapi juga telah menghasilkan dan akan terus menghasilkan beraneka tema, isu, diskursus, ide maupun kasus menyangkut tafsir dan ta’wil al-Qur’an.

Redaksi Jurnal Tanzil pada edisi kali ini menyajikan enam artikel jurnal dengan tema, isu dan diskursus yang bervariasi.

Pertama, artikel dengan judul “ Tafsīr Hukamā:  Memotret Persinggungan Tafsir al-Qur’an dan Tradisi Hikmah”masuk masuk dalam tema Teosofi dan Tafsir al-Qur’an, dengan isu tafsir teosofis, dalam diskursus sejarah dan epistemologi. Kedua, artikel dengan judul “Posisi Tasawuf Teoretis dalam Tinjauan Logika Tafsir al-Qur’an” masuk dalam tema metodologi tafsir dengan isu tasawuf teoritis dalam tafsir al-Qur’an, dalam diskursus logika tafsir. Ketiga, artikel dengan judul “Tafsir Fitri Imam Khomeini” masuk dalam tema Irfan dan Tafsir al-Qur’an, dengan isu tafsir isyārī Imam Khomeini, dalam diskursus tafsir fitri. Ke empat, artikel dengan judul “Partisipasi Politik Perempuan dalam al-Qur’an” masuk dalam tafsir tematik dengan tema: Perempuan dalam al-Qur’an, dalam isu status politik perempuan. Kelima, artikel dengan judul “Penafsiran Bātinī (Esoteris) Thabāthabā’ī dalam Tafsīr al-Mīzān adalah sebuah review kritis atas buku karya Rosihon Anwar yang berjudul “Menelusuri Ruang Batin al-Quran: Belajar Tafsir Batini pada ‘Allāmah Thabāthabā’ī”. Pembahasan ini masuk pada tema: Irfan dan Tafsir al-Qur’an, dengan isu tafsir esoterik, dengan diskursus metode tafsir esoterik Thabāthabā’ī, dalam kasus Tafsīr al-Mīzān. Dan yang terakhir adalah artikel dengan judul “Syukur Dan Pujian Menurut Muhammad Shaleh Darat al-Samarani: Kajian Atas (Qs. Al-Fātiẖah [1]: 2) Tafsir Faydh al-Rahmān” termasuk dalam tema tafsir ulama Nusantara, dengan diskursus makna pujian dan syukur, dalam kasus tafsir Qs. al-Fātiẖah [1]: 2 dari kitab tafsir Faydh al-Rahmān karya KH. Shaleh Darat. Selamat membaca.

Benny Susilo

 

PROGRAM STUDI

PRODI FILSAFAT

menghasilkan sarjana filosof muda yang memiliki pemahaman luas dan keahlian di bidang filsafat Islam, serta mampu memberikan kontribusi terhadap berbagai persoalan pemikiran Filsafat dan Islam pada masyarakat, baik di tingkat nasional maupun internasional

ALQURAN DAN TAFSIR

menghasilkan para sarjana yang memiliki keahlian dalam bidang Ilmu Al-Quran dan Tafsir, mampu melakukan penelitian fenomena sosial dan keagamaan dan mencari alternatif pemecahanan masalahnya berbasiskan pada Ilmu Al- Quran dan Tafsir.

Jalan. Lebak bulus II no.2 Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430. Call: 021-29446460 Fax: 021-29235438 info@sadra.ac.id

About us

Sekolah Tinggi Filsafat Islam di Indonesia yang fokus pada pengkajian filsafat Islam & Ilmu Alqur’an – Tafsir. Sistem pembelajaran di dasarkan pada perpaduan antara nilai-nilai tekstual (alqur’an & Assunah) dengan pendekatan rasional yang bersumber dari khazanah ilmiah Islam klasik & kontemporer.

diggi.id
STAI SADRA
diggi.id
TUTUP