Sadranews- Universitas Islam Al-Ihya (Unisa) Kuningan menggelar webinar bertema “Dampak Konflik Iran Versus Israel terhadap Tatanan Geopolitik dan Keamanan Global” pada Sabtu, 12 Juli 2025. Acara ini dimoderatori oleh Dr. Endun Abdul Haq, M.Pd dan menghadirkan akademisi dari berbagai universitas nasional sebagai narasumber yaitu Dr. Ari Sulistyanto, M.I.Kom (Universitas Bhayangkara Jakarta Raya), Dr. Achmad Jamil, S.S., M.Si., M.I.Kom. (Universitas Mercu Buana Jakarta), Dr. Drs. Saepudin, M.Pd. (Universitas Islam Al-Ihya Kuningan) dan Dr. Otong Sulaeman, Ketua STAI Sadra dan dosen teologi serta filsafat Islam, yang menyampaikan pandangan filosofis dan teologis atas konflik Iran-Israel.
Dr. Otong menegaskan bahwa konflik 12 hari antara Iran dan Israel pada Juni 2025 tidak dapat dipahami hanya sebagai perang rudal atau militer, melainkan sebagai cerminan krisis moral global dan keberpihakan terhadap Palestina. Latar belakangnya sebagai mantan penyiar IRIB Iran dan editor ICMES Journal, serta pengalamannya tinggal 12 tahun di Iran, memberikan kedalaman perspektif dalam menyikapi konflik tersebut.
Menurut Dr. Otong, akar utama konflik bukanlah program nuklir Iran seperti yang kerap digambarkan media Barat dan Israel, melainkan sikap konsisten Iran mendukung Palestina sejak Revolusi Islam 1979. Iran menolak normalisasi dengan Israel, mendukung kelompok perlawanan seperti Hizbullah dan Hamas, serta menjadi poros penting dalam dukungan terhadap perjuangan Palestina.
Ia memandang konflik ini sebagai benturan antara dua paradigma besar: imperialisme-kolonialisme yang diwujudkan melalui proyek Zionisme, melawan paradigma perlawanan (muqāwamah) yang dibangun atas dasar keberpihakan moral dan ideologis. Dalam kerangka ini, perang bukan hanya soal senjata, melainkan pertarungan nilai, identitas, dan keadilan global.
Menyinggung sikap Indonesia, Dr. Otong mengkritik pandangan yang menganggap konflik ini bukan urusan bangsa karena alasan masalah domestik. Ia menegaskan bahwa UUD 1945 menempatkan penolakan terhadap penjajahan sebagai prinsip dasar. Diamnya Indonesia saat Palestina dibantai justru disebutnya sebagai bentuk pengkhianatan terhadap sejarah bangsa.
Dari perspektif geopolitik, Dr. Otong menyoroti bahwa serangan balasan Iran terhadap Israel yang menembus sistem pertahanan Iron Dome menciptakan guncangan serius terhadap mitos keamanan Israel. Negara-negara Arab yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel, seperti UEA dan Bahrain, kini mengalami dilema. Sementara itu, negara seperti Turki dan Qatar kemungkinan meninjau ulang sikap politik luar negerinya. Rusia dan Tiongkok pun mulai memandang Iran sebagai kekuatan geopolitik yang nyata, bukan sekadar simbol perlawanan.
Dalam kondisi ini, Dr. Otong mendorong agar Indonesia tidak lagi hanya menjadi aktor normatif yang mengandalkan retorika, melainkan tampil sebagai aktor strategis dalam memperjuangkan keadilan global. Ia mengusulkan beberapa langkah konkret: mendorong solusi satu negara untuk Palestina, memperkuat solidaritas negara-negara Global South, dan mengintegrasikan nilai keadilan dalam diplomasi luar negeri.
Pernyataan yang paling menggugah dalam forum tersebut datang ketika Dr. Otong menyampaikan, “Jika hari ini kita diam saat Palestina dibantai, esok ketika kita yang diinjak, dunia juga akan memilih diam.” Ia menutup presentasinya dengan kutipan dari Dante Alighieri, “Tempat terpanas di neraka disediakan bagi mereka yang dalam masa krisis moral memilih netral.” Ia menegaskan bahwa netralitas dalam krisis bukan kebijaksanaan, tetapi kemunduran moral.
Sesi tanya jawab berlangsung aktif. Menanggapi pertanyaan tentang posisi Indonesia dalam konflik ini, Dr. Otong menegaskan bahwa justru krisis legitimasi global membutuhkan keberanian Indonesia untuk mengambil sikap. Ia menyebut bahwa daya tawar moral tidak diwariskan, tetapi dibuktikan lewat keberanian mengambil posisi etis, meskipun secara militer dan ekonomi Indonesia bukan kekuatan besar.
Saat menjawab soal hubungan konflik ini dengan isu dalam negeri Iran dan Israel, Dr. Otong mengakui adanya dimensi instrumental—seperti pengalihan isu dan konsolidasi politik domestik. Namun, menurutnya, konflik ini tetap tidak bisa direduksi hanya sebagai alat politik. Bagi Iran, dukungan terhadap Palestina merupakan bagian dari identitas revolusionernya, sementara bagi Israel, upaya membungkam perlawanan Palestina adalah bagian dari strategi jangka panjang.