Kelompok Pojok berkolaborasi dengan Pusat Studi Perempuan (PSP) Sadra sukses menyelenggarakan “Diadua: Q&A Performance” pada 12–13 Juli 2025 di Ruang Pameran Planetarium, Taman Ismail Marzuki. Pertunjukan teater berbasis riset ini merupakan bagian kedua dari rangkaian program “RIS3T 2025”—sebuah inisiatif artistik yang berani dan reflektif.
Mengusung pendekatan kritis dan transformatif, “Diadua” hadir bukan hanya sebagai karya seni, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan simbolik terhadap ketidakadilan struktural. Proyek ini mendapat dukungan penuh dari Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, Dana Indonesiana, serta Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), mempertegas komitmen negara terhadap praktik seni yang berpihak dan berpikiran maju.
Fokus utama dari “Diadua: Q&A Performance” adalah menggali dan menyuarakan narasi-narasi personal perempuan—khususnya perempuan Muslim dari kelompok tertentu—yang selama ini kerap dibungkam oleh lapisan stigma, pengucilan sosial, dan cengkeraman patriarki yang berjejak panjang. Dalam ruang teater yang intim namun penuh daya ledak, Kelompok Pojok dan PSP Sadra menghadirkan realitas yang selama ini tersembunyi di balik diam. Pertunjukan ini tidak hanya memantik empati, tetapi juga menantang cara pandang publik terhadap relasi rumit antara gender, iman, dan marginalisasi dalam lanskap sosial-keagamaan Indonesia yang majemuk.
Bagi Pusat Studi Perempuan (PSP) Sadra, keterlibatan dalam proyek ini bukan sekadar partisipasi, melainkan pengejawantahan langsung dari visi dan misi lembaga: menjadikan seni pertunjukan sebagai medium yang kuat untuk mengangkat narasi sosial dan membuka ruang refleksi kolektif. “Diadua” lahir dari riset lapangan yang mendalam serta wawancara intensif yang dilakukan oleh Kelompok Pojok dan PSP Sadra—menjadikannya lebih dari sekadar pertunjukan, melainkan representasi dari realitas yang teramati dan teralami.
Pentas ini diperankan secara penuh penghayatan oleh Nasrotu Rahmah dan Tsurayya Khoirunnisa Almubarokah sebagai pemeran utama. Dalam satu momen penuh makna, Tim PSP Sadra turut menghadirkan lagu teatrikal berjudul “Siti Fathimah”—sebuah penghormatan terhadap figur perempuan suci yang dijunjung tinggi oleh umat beriman. Tak hanya itu, pentas juga menampilkan tarian Saman yang diinterpretasikan sebagai bentuk penghormatan dan duka atas gugurnya Sayyidina Husein dalam tragedi Asyura—sebuah simbol perlawanan dan pengorbanan yang melintasi ruang dan waktu.
Pementasan “Diadua: Q&A Performance” tak lepas dari peran sentral para tokoh di balik layar. Sebagai Produser Eksekutif sekaligus inisiator, Iqbal Samudra menjadi nahkoda utama yang mengarahkan visi artistik dan konseptual pertunjukan ini. Di tangannya, ide-ide besar tentang identitas, ketidakadilan, dan perlawanan diwujudkan dalam bentuk artistik yang menggugah dan reflektif.
Pertunjukan ini juga ditopang oleh kehadiran para talenta luar biasa yang memberi jiwa pada narasi-narasi kompleks yang dibawakan. Di balik panggung, dukungan penuh datang dari Pusat Studi Perempuan Sadra yang berada di bawah naungan Deputi Perguruan Tinggi Hikmat Al-Mustafa. Keterlibatan mereka menjadi bukti nyata bahwa kolaborasi antara riset akademis dan ekspresi seni dapat menjadi medium strategis untuk menyuarakan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan dalam lanskap sosial yang terus berubah.
Pertunjukan ini berhasil menarik perhatian berbagai lapisan masyarakat, menyatukan mereka dalam sebuah pengalaman artistik dan intelektual yang mendalam. “Diadua: Q&A Performance” bukan sekadar tontonan—ia menjelma menjadi ruang dialog yang hidup, yang menggugah hati dan menggerakkan kesadaran. Melalui pertunjukan ini, dinding-dinding prasangka mulai runtuh. Banyak penonton mengaku tersentuh secara emosional dan lebih terbuka dalam memandang realitas, khususnya terhadap kelompok perempuan yang selama ini terpinggirkan dalam narasi arus utama di Indonesia.