Sadranews- Pusat Studi Perempuan (PSP) Sadra Jakarta resmi menggelar diskusi bulanan perdana bertajuk “Hakikat Manusia dalam Filsafat Islam dan Irfan: Landasan Teoritis Studi Perempuan” pada Jumat (26/9/2025). Acara yang berlangsung pukul 14.00 WIB di Ruang Rapat Lantai 4 Kampus STAI Sadra ini menghadirkan  Prof. Dr. Hossein Mottaghi, Ketua Yayasan Hikmat Al Mustafa, sebagai narasumber.
Diskusi ini dihadiri oleh civitas akademika, mahasiswa, dan pengurus PSP. Turut Hadir Deputi Perguruan Tinggi Al Mustafa, Dr. Kholid Al Walid, M.Ag, dan Ketua Hauzah Al Mustafa, Abdullah Abdul Kadir, MA. Diskusi dipandu oleh Tsurayya Khoirunnisa sebagai moderator.
Dalam sambutan singkatnya, Ketua PSP menekankan pentingnya kajian mendalam terhadap posisi perempuan dalam berbagai tradisi keilmuan. Diskusi ini digelar sebagai respon atas kegelisahan intelektual mengenai bagaimana perempuan diposisikan dalam pemikiran keagamaan dan filsafat, khususnya dari perspektif Islam dan Irfan.
Prof. Mottaghi membuka pemaparannya dengan mengapresiasi inisiatif PSP Sadra. Ia menilai kajian tentang hakikat manusia sering kali melupakan atau mengaburkan peran perempuan. Oleh karena itu, mengkaji isu ini dari perspektif Irfan (mistisisme Islam) menjadi sangat krusial.
Ia juga membandingkan narasi-narasi dalam agama Samawi seperti Yahudi dan Kristen, yang dalam beberapa ajarannya cenderung menempatkan perempuan dalam posisi inferior meskipun sesungguhnya perempuan adalah sumber kehidupan. Dalam tradisi Yahudi, misalnya, perempuan dianggap sebagai penyebab “dosa pertama”, sementara dalam kekristenan, meskipun ada perbaikan citra perempuan lewat figur Nabi Isa, perempuan masih menghadapi batasan peran dalam struktur sosial dan keagamaan.
Namun, Islam_khususnya dalam dimensi Irfan_menawarkan pandangan yang jauh lebih inklusif. Tokoh sufi besar seperti Ibnu Arabi memandang perempuan sebagai manifestasi paling sempurna dari cinta Tuhan. Dalam pandangannya, tidak ada perbedaan esensial antara laki-laki dan perempuan, baik secara spiritual maupun eksistensial.
Maulana Jalaluddin Rumi juga dikutip melalui karya-karyanya di Matsnawi, yang menggambarkan perempuan sebagai jiwa yang dalam dan penuh kebijaksanaan.
Prof. Mottaghi menutup paparannya dengan catatan bahwa tantangan studi perempuan di era digital saat ini semakin kompleks. Informasi berkembang cepat, bahkan melampaui kecepatan teknologi kecerdasan buatan, sementara pemikiran klasik masih terlalu lambat beradaptasi.
Diskusi ini menjadi langkah awal yang menegaskan bahwa perjuangan perempuan bukan hanya persoalan sosial, tapi juga intelektual dan spiritual membangun kesadaran, sebagaimana semangat yang diwariskan oleh tokoh emansipasi Indonesia, R.A. Kartini.
Diskusi ditutup dengan dua rekomendasi penting: perlunya riset yang lebih kontekstual terhadap kebutuhan generasi muda dan upaya menggali literatur komprehensif sebagai dasar pengembangan studi perempuan di masa depan.
Â