Sadranews– STAI Sadra menggelar seminar internasional bertajuk “Perkembangan Terbaru Dunia Islam” pada Senin (1/12/2025) pukul 09.00 WIB di Auditorium Al Mustafa. Acara berlangsung secara hybrid dan menghadirkan dua pakar Timur Tengah: Prof. Dr. Abbas Khamer Yar dari luar negeri serta Dr. Dina Y. Sulaeman dari dalam negeri. Seminar ini dipandu oleh Annisa Eka N., Lc., M.Sos.
Dalam sambutannya, Ammar Fauzi, Ph.D, mewakili Ketua STAI Sadra, menegaskan bahwa kampus Sadra dikenal dengan kekuatan kajian filsafat, terutama filsafat politik Islam yang menjadi salah satu konsentrasi paling diminati di Pascasarjana.
Ia mengutip pemikir Maroko Abid al-Jabiri yang pernah menyebut dunia Islam sebagai “objek kekuatan global”. Namun, menurut Ammar, tesis itu kini mulai tergeser karena dunia Islam mulai menunjukkan peran sebagai subjek yang menentukan arah geopolitik, terutama dengan pusat dinamika yang berada di Timur Tengah dan Iran.
“Perhatian kita tidak hanya tertuju pada dalam negeri, tetapi juga perjuangan Muslimin di Palestina. Ini merupakan implementasi nilai internasionalisme sila kedua dalam Pancasila,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya menggali nilai kemerdekaan, keadilan, dan keberadaban melalui pendekatan filsafat Islam terhadap isu-isu kontemporer.
Prof. Abbas, langsung menohok pada akar masalah: untuk memahami dinamika hari ini, Timur Tengah harus dilihat bukan sebagai penggalan peristiwa, melainkan rangkaian sejarah kolonial yang terstruktur.
Menurutnya, akar historis konflik di Palestina tidak terlepas dari warisan kolonial, khususnya Kesepakatan Sykes-Picot (1916) yang membagi wilayah Arab antara Inggris dan Prancis, serta Deklarasi Balfour (1917) yang membuka pintu bagi imigrasi Zionis. Rekayasa geopolitik awal abad ke-20 ini menciptakan struktur kekuasaan timpang yang berlanjut hingga kini.
“Zionisme modern adalah proyek politik yang membangun identitas eksklusif, melahirkan sistem yang menguntungkan mereka,” jelas Prof. Abbas.
Kekalahan Arab dalam berbagai perang dan keterpurukan selama bertahun tahun menyebabkan keputusasaan. Namun, titik balik historis datang pada tahun 1979: Revolusi Islam Iran. Revolusi ini, kata Prof. Abbas, membangkitkan rasa percaya diri, solidaritas, dan menjadi katalis bagi gerakan pembebasan di berbagai penjuru dunia, dengan menempatkan isu Palestina sebagai prioritas strategis dan moral.
Sementara itu Dr. Dina menjelaskan bahwa perlawanan Palestina kerap dicap terorisme oleh sebagian negara, sehingga melanggengkan dominasi Amerika dan Israel. Ia menegaskan bahwa kemenangan dalam konflik tidak semata ditentukan oleh aspek militer, tetapi oleh keteguhan ideologi, strategi, dan kemampuan mempertahankan prinsip.
Ia mencontohkan strategi Iran dalam perang 12 hari, yang menggunakan gelombang awal rudal dan drone murah untuk menguras sistem pertahanan Iron Dome, lalu menghantam Israel dengan serangan lanjutan yang lebih canggih.
“Kemenangan itu bukan hanya jumlah korban. Jika tujuan politik tercapai dan prinsip terjaga, itu sudah kemenangan,” tegasnya.
Dr. Dina juga memaparkan tanda-tanda rapuhnya Israel saat ini: konflik internal, ekonomi yang melemah, hingga berkurangnya dukungan internasional. Kebangkitan dunia Islam, menurutnya, tidak ditentukan negara, tetapi oleh aktor-aktor perlawanan, jaringan masyarakat, dan kesadaran kolektif umat.
Seminar yang penuh wawasan ini ditutup dengan antusiasme mahasiswa dalam sesi tanya jawab, menggarisbawahi pentingnya kajian filsafat politik dan kesadaran kolektif dalam menghadapi tantangan dunia Islam kontemporer.

