Sadranews— Pusat Studi Perempuan (PSP) Sadra kembali menegaskan komitmennya dalam penguatan wacana keperempuanan berbasis keilmuan melalui penyelenggaraan Diskusi Bulanan bertajuk “Merealisasikan Arketipe Ibu yang Harmonis: Integrasi Pendekatan Sufistik dan Psikologis dalam Konteks Keindonesiaan”. Kegiatan ini berlangsung pada Jumat, 19 Desember 2025, pukul 14.00 WIB, di Kampus STAI Sadra.
Diskusi yang merupakan seri ketiga ini menghadirkan Dr. Hj. Rihab Said Aqil, konselor sekaligus dosen Program Studi Psikologi Islam STAI Sadra, sebagai narasumber utama. Jalannya diskusi dimoderatori oleh Nihayatul Pitriyah dari Divisi Penelitian PSP Sadra. Acara dibuka secara resmi oleh Wa Ode Zainab Zilullah, Ph.D., Ketua PSP Sadra, yang menegaskan pentingnya pembahasan arketipe keibuan sebagai fondasi pembentukan peradaban yang sehat dan berkeadilan.
Dalam pemaparannya, Dr. Rihab menguraikan konsep arketipe ibu sebagai representasi kualitas keibuan atau sisi feminim dari sifat-sifat ketuhanan. Ia menjelaskan bahwa dalam perspektif psikologi analitik Carl Jung, arketipe ibu merupakan ide universal yang tertanam dalam alam bawah sadar kolektif manusia. Sementara dalam khazanah tasawuf, konsep ini berkelindan dengan ilmu Tuhan pada wilayah manifestasi sifat Allah yang merepresentasikan potensi-potensi eksistensial manusia sejak sebelum teraktualisasi.
Arketipe ibu, yang dikenal sebagai the great mother, ditegaskan Dr. Rihab sebagai potensi universal yang dimiliki setiap manusia—baik laki-laki maupun perempuan. Arketipe ini berperan signifikan dalam membentuk cara berpikir, pengambilan keputusan, sikap hidup, hingga persepsi seseorang terhadap perempuan dan nilai keibuan.
Diskusi juga mengupas dualisme arketipe ibu, yang memiliki sisi menumbuhkan, melindungi, dan melahirkan kehidupan, sekaligus sisi destruktif yang berfungsi sebagai sarana pembaruan. Dalam perspektif sufistik, dualitas ini sejalan dengan sifat jamal dan jalal Allah. Sifat jamal merepresentasikan femininitas Ilahi yang sarat dengan rahmat, kelembutan, dan kasih sayang, sementara jalal berfungsi sebagai penyeimbang dalam proses transformasi.
Secara linguistik dan teologis, Dr. Rihab menyoroti makna kata rahim (R-H-M) dalam Islam yang mengandung arti Riqqah (kelembutan), Ra’fah (belas kasih), dan ‘Athf (kasih sayang). Hal ini menegaskan posisi ibu sebagai lokus manifestasi rahmat Allah di bumi, sebagaimana tercermin dalam hadis qudsi yang menyebut rahim sebagai cabang dari sifat ar-Rahman.
Namun demikian, diskusi tidak berhenti pada idealisasi. Dr. Rihab secara kritis memaparkan berbagai bentuk manifestasi arketipe ibu yang tidak sehat, seperti ibu yang melahap secara psikologis, ibu narsistik, death mother, ibu martir, ibu absen, hingga ibu yang terlalu kritis. Pola-pola ini dinilai berpotensi merusak perkembangan psikologis anak apabila tidak disadari dan diatasi secara tepat.
Sebagai contoh teladan keibuan yang transformatif, diskusi mengangkat sosok Ratu Ageng, nenek Pangeran Diponegoro. Ratu Ageng digambarkan sebagai figur ibu tarbiyah yang menjauhkan cucunya dari kemewahan istana dan menanamkan nilai kasih sayang, kesederhanaan, serta kepedulian terhadap sesama. Dalam konteks ini, dibahas pula pembedaan antara ibu wiladah (ibu yang melahirkan secara biologis) dan ibu tarbiyah (ibu yang mendidik dan membentuk jiwa).
Dr. Rihab menegaskan bahwa dalam tasawuf, realisasi sifat keibuan berarti menginternalisasi dan memanifestasikan sifat ar-Rahman dan ar-Rahim dalam setiap relasi dan eksistensi. Sementara dalam psikologi Jung, integrasi ini diwujudkan dengan mengaktifkan kualitas great mother—seperti nurturing, protection, unconditional love, dan containment—dari ketidaksadaran kolektif menuju kesadaran secara seimbang, adaptif, dan kontekstual dengan realitas keindonesiaan.
Diskusi ditutup dengan pemaparan strategis mengenai pengembangan arketipe keibuan yang sehat, antara lain melalui praktik Takhallaq bi Akhlaqillah (meneladani sifat-sifat Tuhan), kehadiran figur maternal secara fisik dan emosional, peningkatan literasi kesehatan mental, dukungan sosial dan kebijakan pemerintah, serta akses terhadap terapi dan konseling.

