Sadranews– Suasana Auditorium Al Mustafa pada Jumat (5/12) berubah menjadi lautan kekaguman ketika dua hafiz tunanetra asal Iran, Amir Hadi Bayrami dan Zahra Khalili, tampil dalam acara Mahvil atau Festival Al-Qur’an yang digelar STAI Sadra. Kehadiran keduanya bukan sekadar memukau, bahkan mengguncang persepsi hadirin tentang batas kemampuan manusia dalam menghafal dan memahami Al-Qur’an.
Acara yang dimulai pukul 09.00 WIB tersebut dipandu oleh Abdullah Beik, MA yang sekaligus berperan sebagai penerjemah sehingga suasana berlangsung dengan khidmat dan penuh antusiasme.
Kegiatan ini dihadiri oleh pimpinan, dosen, mahasiswa STAI Sadra, dan para karyawan Yayasan Hikmat Al Mustafa. Sejak awal, atmosfer haru dan khidmat begitu terasa saat para hadirin menyadari bahwa di hadapan mereka berdiri dua sosok remaja tunanetra yang membawa pancaran luar biasa dari kalam ilahi.
Dalam sambutannya, Prof. Dr. Hossein Mottaghi, Ketua Yayasan Hikmat Al Mustafa menegaskan bahwa kehebatan Bayrami dan Zahra bukan hanya buah kecerdasan unggul, tetapi juga hasil dari pendidikan mendalam yang diberikan orang tua mereka. “Kalau kita ingin memahami karunia besar yang Allah berikan kepada keduanya, kita perlu mengerti apa yang telah dilakukan kedua orang tua mereka sehingga cahaya kalam ilahi dapat terpancar dalam hati mereka,” ujar Prof. Mottaghi.
Zahra dikenal bukan sekadar hafiz 30 juz, tetapi juga ahli sastra Persia yang mampu merangkai keterhubungan antara syair-syair tentang tasawuf dan ayat-ayat Al-Qur’an.
Sementara Bayrami dengan kecerdasan yang mencengangkan, telah menyelesaikan Pascasarjana Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di usia 14 tahun, sebuah capaian yang mengundang decak kagum seluruh peserta.
Pada momen Sharing session, Bayrami mengawali dengan menyampaikan ucapan terima kasih atas sambutan hangat seluruh Civitas Akademika STAI Sadra, lalu melantunkan Sholawat Likhomsatun dengan suara merdu yang memenuhi ruangan. Zahra menyusul dengan lantunan indah Surat Maryam, membuat suasana auditorium makin khidmat.
Namun puncak kekaguman terjadi saat keduanya diuji hafalannya oleh para peserta. Hanya dengan menyebutkan nomor halaman Al-Qur’an, Bayrami dan Zahra mampu mengidentifikasi secara tepat letak surat dan juz, beserta posisi teks pada sisi kanan maupun kiri halaman. Menjelaskan secara rinci struktur ayat—awal, tengah, hingga akhir—dalam setiap surat yang ditanyakan. Berpindah antarhalaman, baik maju maupun mundur, dengan kelancaran yang menunjukkan ketajaman memori luar biasa. Menguraikan posisi ayat secara detail—kanan atau kiri, bagian atas atau bawah halaman—tanpa sedikit pun keraguan.
Keduanya secara bergantian menjawab setiap pertanyaan dengan benar dan memuaskan. kecepatan mereka bahkan melampaui para penanya yang masih sibuk membalik halaman mushaf. Pertanyaan demi pertanyaan, seberapa pun sulitnya, langsung dijawab dengan penuh keyakinan sehingga membuat para hadirin tak mampu menyembunyikan keterpukauan mereka.
Dalam sesi dialog, ayah Zahra membeberkan rahasia pendidikan putrinya. Sejak usia lima tahun, Zahra diperdengarkan Al-Qur’an setiap hari selama dua tahun, hingga pada usia tujuh tahun ia telah menghafal seluruhnya. “Saya senang masyarakat Indonesia mencintai dan memperhatikan Al-Qur’an,” ungkap ayah Zahra.
Ayah Bayrami berkisah lebih emosional. Ketika Bayrami lahir dalam keadaan tunanetra, dirinya dan sang istri sempat diliputi keputusasaan. Namun kerja keas keduanya dan bimbingan para guru Al-Qur’an mengubah segalanya.
Sejak usia empat tahun, Bayrami terus menerus diperdengarkan bacaan Al-Qur’an hingga akhirnya pada usia delapan tahun ia menyelesaikan hafalan 30 juz, bahkan sebelum mampu membaca dan menulis secara umum.
“Segala ciptaan Allah penuh hikmah. Apa yang terjadi pada Bayrami adalah bagian dari mukjizat Al-Qur’an,” ujar sang ayah dengan penuh rasa syukur. Ia menambahkan bahwa setiap momen penting dalam hidup Bayrami selalu ia catat, termasuk acara Mahvil STAI Sadra hari ini, yang baginya sangat berkesan.
Festival Al-Qur’an ini bukan sekadar ajang unjuk hafalan, melainkan pembakar semangat bagi seluruh Civitas Akademika STAI Sadra. Kehebatan dua hafiz remaja dari Iran ini menjadi bukti nyata bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang bagi mereka yang memegang cahaya wahyu dengan sepenuh hati.
Acara ditutup dengan wajah-wajah bercahaya, penuh inspirasi, motivasi, dan keharuan. Hari ini bukan sekadar menyimak keajaiban hafalan remaja tunanetra, tetapi juga menyelami kisah perjuangan, ketabahan, dan keajaiban yang akan terus hidup dalam ingatan setiap hadirin.

