Sadranews– Kampus Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra Jakarta berubah menjadi ruang penuh haru dan inspirasi saat puluhan alumni lintas angkatan berkumpul dalam Reuni Akbar 2025, Sabtu (31/5). Namun, ini bukan sekadar ajang temu kangen biasa. Di balik tawa dan pelukan hangat, terselip kisah-kisah transformasi luar biasa—tentang bagaimana filsafat, tasawuf dan tafsir tak hanya hidup di ruang kelas, tapi juga tumbuh menjadi kekuatan nyata di tengah masyarakat.
Reuni ini menjadi bukti nyata bahwa pendidikan Islam, ketika dijalani dengan integritas dan keberanian berpikir kritis, mampu melahirkan sosok-sosok visioner yang relevan dalam menghadapi zaman. Dari akademisi dan dai, hingga pengusaha dan jurnalis—alumni Sadra menunjukkan bahwa keilmuan bukan beban, tapi bekal untuk mengabdi.
Salah satu sosok yang menarik perhatian adalah Ayu Lestari, alumni 2010. Dulu aktif berdiskusi filsafat Islam di lorong-lorong kampus, kini ia menjabat sebagai dosen tetap di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam refleksi yang disampaikannya di Aula Al Mustafa, Ayu berkata, “Filsafat mengajarkan kita bertanya sebelum menjawab, merenung sebelum bertindak.”
Ia memulai karier dari nol—sebagai peneliti lepas dan penulis buku—hingga menuntaskan studi pascasarjana dan berhasil menjadi PNS. Kini, Ayu dikenal sebagai akademisi produktif, penulis buku, dan narasumber di berbagai forum keilmuan. Sosoknya menjadi teladan bagi generasi muda yang ingin menjadikan ilmu sebagai kompas kehidupan.
Berikutnya adalah Harkaman, lulusan 2011 yang kini dikenal sebagai dai nasional dengan gaya dakwah yang unik—menggabungkan kedalaman filsafat dan tafsir dengan bahasa umat. Melalui kanal YouTube yang digemari ribuan pengikut, ia membahas isu moral, sosial, hingga ekonomi umat dengan pendekatan spiritual yang rasional.
“Sadra membentuk nalar saya,” ujarnya. “Saya belajar bahwa berdakwah bukan hanya soal bicara, tapi soal mendengarkan dan menyusun argumen dengan empati.” Dakwah baginya adalah seni berdialog dengan zaman—dengan hati dan logika sekaligus.
Tak kalah menarik adalah cerita Muhamad Burniat, alumni 2013 yang kini menjelma menjadi pengusaha sukses di bidang ritel dan ekspedisi. Dari toko kecil hingga jaringan distribusi besar, semuanya ia bangun berlandaskan nilai Islam.
“Saya tidak pernah menduga, ilmu filsafat justru membentuk intuisi bisnis saya,” tuturnya. Kini, selain menjadi manajer perusahaan, Burniat aktif menggelar pelatihan bisnis syariah, berbagi strategi dan semangat kepada generasi muda dan para santri.
Dari dunia media, muncul nama Lufaefi, alumni 2014 yang dikenal sebagai jurnalis reflektif sekaligus dosen tafsir. Ia menulis dengan gaya khas—menggabungkan kedalaman tafsir dengan narasi yang ringan namun menggugah.
“Belajar tafsir bukan sekadar menelusuri makna ayat, tapi membaca realitas manusia dengan kacamata ilahi,” ucapnya. Ia juga aktif menggerakkan komunitas kajian tafsir tematik dan telah meraih sejumlah penghargaan jurnalistik nasional.
Kisah-kisah ini bukan sekadar cerita sukses pribadi, tetapi juga cermin dari keberhasilan model pendidikan yang dijalankan STAI Sadra. Bahwa pendidikan Islam, jika diselami dengan keberanian berpikir dan keikhlasan mengabdi, bisa melahirkan agen perubahan di berbagai lini kehidupan.
Reuni ini mengingatkan bahwa filsafat, tasawuf dan tafsir bukanlah disiplin eksklusif di ruang kuliah semata, namun bisa menjelma menjadi kekuatan sosial, ekonomi, dan spiritual yang mencerahkan. Dan para alumni STAI Sadra telah membuktikannya dengan karya dan kontribusi nyata.
