Sadranews— Memburuknya kondisi lingkungan hidup Indonesia kembali menjadi sorotan serius kalangan akademisi dan mahasiswa. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STAI Sadra berkolaborasi dengan Forum Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (FORSEMA PTKIS) Jakarta–Banten menggelar Focus Group Discussion (FGD) refleksi akhir tahun bertajuk “Indonesia Darurat Ekologi dan Doa Kebangsaan”, Selasa (30/12/2025), di Kampus STAI Sadra.
Kegiatan yang dimulai pukul 09.00 WIB tersebut sebagai ruang refleksi kritis mahasiswa dalam membaca krisis ekologis nasional yang kian mengancam keberlanjutan hidup masyarakat. Deforestasi, pencemaran lingkungan, krisis air, hingga bencana ekologis diposisikan sebagai persoalan struktural yang berdampak langsung pada keadilan sosial dan masa depan bangsa.
Dalam sambutannya, Ketua STAI Sadra, Dr. Otong Sulaeman, M.Hum, memaparkan bahwa akar persoalan lingkungan sesungguhnya bersumber dari problem filsafat. Ia mengkritik perdebatan klasik antara antroposentrisme dan ekosentrisme yang menurutnya sama-sama keliru jika memisahkan manusia dari amanah ketuhanan.
“Dalam pandangan filsafat Islam, alam bukan milik manusia. Alam adalah amanah Tuhan, dan manusia hanyalah khalifah yang diberi mandat untuk mengelolanya,” tegasnya.
Ia mencontohkan praktik penebangan hutan di Sumatra yang dilakukan secara legal oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Legalitas tersebut, menurutnya, berangkat dari paradigma pembangunan yang mengadopsi ideologi ekonomi kapitalistik—sebuah cara pandang yang menempatkan eksploitasi sumber daya alam sebagai prasyarat pertumbuhan ekonomi.
Founder Forum Komunitas Hijau (FKH) Nusantara, Ir. Heri Syaifuddin, dalam keynote speech menyoroti pentingnya teologi lingkungan lintas agama sebagai fondasi etis penyelamatan bumi. Ia mengkritik tata ruang dan kebijakan lingkungan yang terlalu antroposentris, sekaligus menawarkan pendekatan biosentris yang berakar pada kearifan lokal.
“Bumi harus dipandang sebagai Ibu—penopang kehidupan bersama—bukan sekadar objek eksploitasi,” katanya.
Ia menekankan bahwa Al-Qur’an tidak cukup dihafalkan, tetapi harus diimplementasikan dalam praktik pengelolaan alam yang berkeadilan. Heri juga mengingatkan bahaya perkembangan teknologi yang melaju tanpa disertai nilai-nilai moral dan spiritual, sehingga melahirkan krisis sosial dan ekologis.
Tenaga Ahli Kementerian Kehutanan Bidang Restorasi dan Kemitraan Konservasi, Dr. Wiratno, memaparkan keterkaitan erat antara kerusakan ekosistem dan meningkatnya bencana hidrologis. Ia menegaskan bahwa manusia idealnya menjalankan tiga peran utama: sebagai khalifah, pembawa kabar kebaikan, dan rahmatan lil ‘alamin—peran yang menurutnya belum terpenuhi secara utuh.
“Tidak semua sumber daya alam dapat diukur dengan nilai uang. Bagi banyak budaya Nusantara, alam adalah pusaka suci yang wajib dijaga sepanjang masa,” ujarnya.
Sekretaris Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, Djihatul Mubarak, S.E., M.H, menjelaskan peran Muhammadiyah dalam membangun ekologi Islam melalui dakwah, kebijakan resmi, dan aksi nyata. Ia menegaskan bahwa menjaga lingkungan merupakan bagian integral dari misi keislaman.
Menurutnya, amar ma’ruf berarti menjaga dan mengelola alam secara berkelanjutan, sedangkan nahi munkar adalah menolak perusakan dan eksploitasi berlebihan. Muhammadiyah bahkan menetapkan bahwa perusakan lingkungan dapat dihukumi haram jika menimbulkan mudarat publik.
Ia mengutip pandangan KH Ahmad Dahlan tentang Islam sebagai agama amal, serta pernyataan Haedar Nashir yang menyebut krisis lingkungan sebagai krisis moral dan peradaban akibat keserakahan manusia.
Sementara itu, Analis Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup, Dr. Lyta Permatasari, M.Si, menyoroti krisis air, pencemaran, limbah, dan sampah sebagai pemicu utama bencana ekologis. Ia menekankan pentingnya kepemimpinan ekologis dan reformasi birokrasi.
Menurutnya, pemerintah daerah harus diberikan otonomi yang lebih luas agar mampu merespons bencana secara cepat dan kontekstual. Ia juga menyinggung lemahnya tata kelola sampah nasional serta pentingnya kedaulatan air, pangan, dan energi sebagai fondasi keberlanjutan wilayah.
“Di sinilah peran pemuda dan mahasiswa menjadi krusial—menjembatani kepentingan rakyat dan negara dengan gagasan yang kritis, positif, dan membangun,” katanya.
FGD ini disemarakkan dengan pembacaan puisi reflektif bertema Indonesia Darurat Ekologi oleh mahasiswa STAI Sadra, yang menyalurkan suara perlawanan terhadap keserakahan kekuasaan yang sering disamarkan di balik klaim ketertiban dan keadilan. Suasana ini muncul setelah sambutan penuh semangat dari Ketua BEM STAI Sadra, Rizki Faldi, dan Ketua FORSEMA PTKIS Jakarta dan Banten, Fathul Fahmi, yang membakar semangat peserta.
Sebagai penutup, peserta bersama-sama menggelar doa kebangsaan demi keselamatan lingkungan dan masa depan Indonesia. Momentum akhir tahun ini dimaknai sebagai ajakan kolektif untuk beranjak dari wacana menuju kesadaran dan aksi nyata dalam menghadapi krisis ekologi nasional.


