Sadranews– Asosiasi Aqidah dan Filsafat Islam (ASAFI) menggelar Annual Meeting bertajuk “Sinergi Kurikulum dan Desain Kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Menghadapi Tantangan Internasionalisasi dan Kompetisi Global” yang dirangkaikan dengan International Conference bertema “Critical Discourse on Islamic Philosophy.” Kegiatan berlangsung selama tiga hari, 27–29 November 2025, bertempat di Auditorium Al-Mustafa STAI Sadra Jakarta.
Acara pembukaan digelar Kamis (27/11) pukul 14.00 WIB dan dihadiri para delegasi ASAFI dari seluruh Indonesia, pimpinan fakultas, dosen, mahasiswa, serta tamu undangan.
Ketua Pelaksana Konferensi, Dr. Irzum Farihah menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar pertemuan tahunan. Ia menyampaikan bahwa forum ini dibuka sebagai ruang untuk berbagi pengalaman, karya, dan pengetahuan antar peserta. Tahun ini ASAFI dihadiri 50 peserta dari jenjang S1, S2, dan S3, mewakili 25 perguruan tinggi anggota dari total 35 kampus yang tergabung dalam ASAFI.
Dr. Irzum juga menyampaikan apresiasinya kepada para pimpinan fakultas yang hadir, termasuk dari UIN Sunan Ampel, Banten, dan Riau.
Dalam sambutan berikutnya, Prof. Dr. Kholid Al Walid selaku Ketua ASAFI menekankan pentingnya filsafat sebagai fondasi peradaban. Meskipun ASAFI tergolong asosiasi baru, ia menilai capaian akademik—termasuk penyelenggaraan beberapa konferensi internasional—patut dibanggakan. Ia menegaskan bahwa peradaban yang kokoh tidak dapat berdiri tanpa landasan filosofis.
Prof. Kholid mengingatkan bahwa bangsa Indonesia membutuhkan pemikir besar, bukan sekadar tenaga kerja teknis. Menurutnya, Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) memikul tugas historis untuk melahirkan perumus gagasan dan tokoh intelektual yang memiliki visi.
Terkait tantangan akreditasi yang sering berbasis pada ukuran pragmatis dunia kerja, ia menegaskan bahwa kontribusi keilmuan AFI tidak diukur oleh jumlah lulusan industri, tetapi oleh daya ubah gagasan mereka terhadap cara berpikir bangsa. Ia menyoroti pentingnya pendidikan pemikiran kritis sebagai fondasi moderasi beragama yang autentik.
Di tengah tradisi nalar Nusantara yang cenderung intuitif dan mistikal, ia menilai penting menguatkan rasionalitas argumentatif agar bangsa memiliki kemampuan berpikir lebih kritis dan progresif.
“Ada perkembangan membanggakan dari berbagai Prodi AFI di Indonesia. Saat ini terdapat sekitar 30 jurnal terakreditasi, satu di antaranya telah terindeks Scopus, serta beberapa jurnal lain berada pada level Sinta 2 hingga Sinta 5. Dari sekitar 30–35 Prodi AFI, sekitar 27 telah meraih akreditasi nasional, bahkan sejumlah prodi telah mencapai akreditasi internasional,” ungkap Prof. Kholid.
Penasehat ASAFI, Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, menyoroti pentingnya evaluasi diri dan keilmuan dalam forum ini. Ia memaparkan adanya kecenderungan masyarakat modern untuk terjebak dalam spesialisasi teknis yang terlalu sempit, hingga melupakan pengetahuan humanistik seperti etika, antropologi, dan moralitas.
Ia menegaskan bahwa ilmu teknis tidak cukup tanpa soft curriculum—nilai, empati, komunikasi, dan kecerdasan sosial. Ilustrasi seorang dokter yang menyambut pasien dengan senyum, katanya, sudah memberikan setengah dari proses penyembuhan. Contoh ini menggambarkan bahwa manusia tidak hanya membutuhkan kemampuan teknis, tetapi juga sentuhan kemanusiaan.
Prof. Amsal melihat Prodi Akidah dan Filsafat Islam memiliki posisi strategis dalam mengisi ruang-ruang fundamental yang tidak disentuh disiplin teknis: nilai, etika, orientasi hidup, dan kerangka makna. Ia mengingatkan tentang pentingnya membangun kembali etika publik, menumbuhkan nilai kebijaksanaan, serta melestarikan akhlak mulia yang diajarkan Rasulullah.
Ia menutup dengan pesan bahwa jalur pemikiran adalah jalur kepemimpinan. Ia mengajak para pemikir AFI untuk bangga menjadi penggerak peradaban, bukan sekadar pekerja teknis.
Dalam sambutannya, Dr. Otong Sulaeman selaku Ketua STAI Sadra menyoroti dua tantangan besar yang dihadapi Prodi AFI: globalisasi akademik dan disrupsi intelektual. Menurutnya, forum ini adalah momentum strategis untuk merumuskan langkah-langkah integratif antara kurikulum, riset, dan pengabdian masyarakat, sebagaimana telah ditegaskan oleh para pembicara sebelumnya.
Ia menambahkan refleksi tentang kondisi generasi muda saat ini, yang diibaratkan “burung muda dengan sayap tetapi tanpa arah terbang.” Tekanan hidup bukan semata faktor ekonomi atau sosial, tetapi hilangnya makna hidup. Dalam perspektif filsafat Mulla Sadra dengan istilah harakah jawhariyyah, manusia selalu bergerak menuju tujuan, tetapi generasi muda kini bergerak tanpa arah.
Ia menilai bahwa ilmu yang tidak diberi makna justru menjadi beban, dan inilah akar dari banyak problem psikologis generasi Z.
Dr. Otong menilai STAI Sadra di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Kholid Al-Walid telah menunjukkan tradisi akademik yang menyelaraskan rasionalitas, spiritualitas, dan komitmen sosial. Ia memandang tradisi ini sebagai etos ilmiah yang perlu dipertahankan.
Dalam Keynote Speech, Prof. Dr. Hossein Mottaghi mengangkat tema Islamisasi ilmu pengetahuan. Ia menjelaskan bahwa wacana ini bukan sepenuhnya baru, namun belum memiliki keseragaman paradigma di kalangan pemikir Muslim. Perbedaan pandangan tokoh seperti Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi, menurutnya, membuat wacana ini sering berhenti pada slogan.
Ia menawarkan gagasan pribumisasi ilmu bahwa ilmu harus diterjemahkan dan dikontekstualkan sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia.
Prof. Mottaghi mengajukan tujuh langkah strategis sebagai solusi dalam memperkuat pengembangan keilmuan. Pertama, merumuskan definisi yang disepakati bersama. Kedua, menyelaraskan terminologi agar konsisten dan operasional. Ketiga, membangun paradigma epistemologis yang dapat diterima secara kolektif. Keempat, menyusun kurikulum yang komprehensif dan berorientasi pada penguatan disiplin. Kelima, melakukan kajian perbandingan pada level internasional. Keenam, mengembangkan jejaring kolaboratif lintas kampus dan lintas disiplin. Ketujuh, membentuk kelembagaan pemikiran yang mampu menjaga keberlanjutan gagasan melintasi generasi.
Ia menegaskan bahwa masyarakat Indonesia sangat peka terhadap nilai dan makna hidup, sehingga dosen filsafat memikul tanggung jawab moral yang besar sebagai penjaga arah intelektual.
Mengakhiri pemaparannya, Prof. Mottaghi menekankan bahwa filsafat bukan untuk disombongkan, melainkan untuk dihidupkan dalam realitas sosial. Islamisasi dan integrasi ilmu adalah “kerja peradaban” yang menuntut kesabaran dan kejujuran ilmiah.

