Terbit KANZ Philosophia, Jurnal Studi Filsafat dan Mistik Vol. 6

Dalam tradisi pengajaran dan penyusunan ilmu-ilmu keislaman, para bapak dan pengajar ilmu pengetahuan meletakkan satu pembahasan pengantar seputar tinjauan umum terhadap ilmu yang akan ditelaah subjek dan masalah-masalahnya. Awalnya, mereka meletakkan pembahasan ini dalam Logika di bawah judul al-ru’ūs al-tsamāniyah li al-‘ulūm ‘delapan topik pokok ilmu’. Dan kini, dengan berkembang pesatnya studi filsafat hingga melahirkan beragam filsafat (falsafeh-e mudhāf) sebanyak disiplin ilmu-ilmu spesifik, adakalanya tinjauan umum delapan topik pokok ini disebut juga sebagai filsafat suatu disiplin ilmu.

Dalam pengertian ini, filsafat juga ada filsafatnya, filsafat Islam juga ada filsafatnya. selanjutnya juga bisa dibubuhkan filsafat di awal nama-nama ilmu: filsafat metafisika, filsafat ontologi, filsafat epistemologi, filsafat fisika, filsafat logika, dll., adalah metastudi yang mengamati filsafat Islam dari luar wilayahnya. Dalam tinjauan eksterior ini, filsafat Islam ditempatkan sebagai objek lalu, sejauh delapan topik pokok ilmu, ditelaah delapan aspek, di antaranya manfaat dan fungsi. Seperti telah dinyatakan tegas ketradisionalan masalah, pertanyaan “apa peran dan pengaruh filsafat-filsafat ini dalam kehidupan dan nasib manusia?” tidak hanya berlaku pada filsafat, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu lainnya. Dan, tentu saja, pertanyaan dan masalah apa pun akan berarti sejauh keterlibatan manusia dan nasib hidupnya di dalamnya, entah secara langsung atau tidak.

Kehidupan sosial dan berbangsa tak pelak merupakan bagian dimensi paling krusial manusia. Di era modern, tata kehidupan ini dikelola dalam kerangka konstitusi. Kini, konstitusi bukan lagi sekadar bagian dari studi hukum, politik, ketatanegaraan, tetapi juga telah keluar terpisah menjadi disiplin ilmu sendiri. Di tanah air, studi dan literatur tentang konstitusi cukup kaya. Kekayaan ini, sayangnya, tidak setimpal dengan studi filosofis atas konstitusi. Sulit ditemukan atau bahkan nyaris tidak ada matakuliah atau buku yang menyinggung filsafat konsititusi.

Belakangan, sebuah karya ilmiah berjudul Menggugat Manusia dalam Konstitusi, menyusut kesan kelangkaan studi filosofis konstitusi. Diangkat dari hasil penelitian tesis, tentu ada keseriusan dan pertimbangan intelektual yang dipertanggungjawabkan. Sebagaimana terbubuhkan di anak judul, sebuah kajian yang dapat dipastikan bernuansa teoretis. Kata filsafat turut menegaskan nuansa ini yang tampaknya diupayakan penulis dapat berkontribusi mendudukkan poros sistem hukum negara dalam kerangka kebijaksanaan yang selanjutnya berpengaruh dalam kebijakan. Pendekatan filsafat Islam, yakni Kebijaksanaan Utama (al-hikmah al-muta‘aliyah), ditempuh sebagai cermin kesungguhannya untuk memastikan posisi kebijaksanaan berada di atas kebijakan. Dengan fokus ‘manusia’, seolah penulis menyinggung agak kasar bahwa mendisposisi satu sama lain atau mengisi kebijaksanaaan dengan muatan kebijakan sama artinya menggolongkan manusia dalam habitat binatang. Dalam rangka ini pula ‘menggugat’ dapat dimengerti sebagai cara penulis meneguhkan dan atau meluruskan esensi manusia konstitusi, setidaknya manusia Indonesia pasca amandemen, sesuai dengan pijakan kebijaksanaan.

Meninjau dinamika ilmu-ilmu kefilsafatan di tanah air, buku ini rupa-rupanya hanya segoret dari kelangkaan relatif di bidang Filsafat Konstitusi. Fokus sorotnya pada manusia tidak menyusut arti kehadirannya dalam diskursus dan studi konsititusi. Seperti digawisbawahi oleh penulis, konstitusi tertulis sama dengan undang-undang dasar dan, karena ke-dasar-annya ini, ia sendiri sudah bersifat umum dan abstrak sehingga relevan kiranya ditelaah secara abstrak dengan alat ilmu filsafat yang juga abstrak.

Masyarakat manusia, bagaimanapun, punya kitab suci; jika bukan dari langit, diprakarsai di bumi. Kalau ada kitab suci manusia, itulah konstitusi tertulis dan undang-undang dasar. Karena kesucian inilah konstitusi akan diperlakukan terhormat sebagai referensi dan kerangka penentu arah serta pola hidup manusia berbangsa dan bernegara. Maka, manusia jantung konstitusi; menghilangkan kata manusia darinya akan membuatnya kehilangan napas. Tetapi, keberadaan ‘kata’ manusia dan kata-kata sederajatnya sepanjang konstitusi tidak juga jantung itu bekerja sehat bila tidak digizi oleh makna seutuhnya.

Edisi Kanz Philosophia kali ini diharapkan membuka sejumlah lapisan dan isi manusia dari berbagai sudut pandang jurnal ini: filosofis dan mistik. Pada muatan lokalnya, edisi ini dibuka dengan antropologi mistik Hamzah Fanshuri. Dirangkum dalam judul The Mystery of Human Person: Mystical Anthropology in Hamzah Fansuri’s Sha’ir, penulis mengembangkan wacana mistik sufi awal Melayu ini mengenai martabat teomorfis manusia dan dinamika perjalanan manusia kembali menuju Tuhan, dengan menggunakan beberapa gambaran dan simbolisme yang cukup orisinil.

Bagaimana manusia menempuh perjalanannya menuju Tuhan? Ini persoalan yang kerap bersentuhan dengan nilai tindakan: baik dan buruk. Persoalan klasik ini tetap segar seiring dengan fokus kontemporer para ahli. Penggalian tradisi perlu dilakukan sebagai acuan awal. Makalah Dialectic of Theology and Mysticism in Islam: A Study of Ibn Taymiyya merupakan bagian dari rangkaian penggalian tersebut. Penulis menggarisbawahi dialektika kalam dan tasawuf dalam perspektif Ibn Taymiyyah bahwa dua bidang ini berupaya untuk mengantarkan manusia memahami keberadaan Tuhan, sehingga bersedia melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Upaya untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan itulah yang dapat mengantarkan manusia pada kesempurnaan jiwa.

Pemahaman manusia akan Tuhan didalami secara khusus dalam konstruksi filosofis dengan basis Mistisisme Islam melalui pengetahuan intuitif dalam makalah berikutnya, Belief in God by Intuitif Knowledge. Penulis mengajukan suatu jalan atau pendekatan alternatif untuk menjelaskan dan memberi argumen terhadap iman kepada Tuhan, yaitu pengetahuan intuitif. Untuk mewujudkan tujuan ini, tulisan ini berupaya, pertama-tama, mendeskripsikan secara ringkas kedua arus pemikiran di atas dan, selanjutnya, menelaah dan mengkritik kedua arus pemikiran tersebut dengan mendiskusikan serta menganalisis gagasan konsep-konsep bawaan dan pengetahuan presentasional yang dikenal sebagai pengetahuan intuitif berdasarkan pandangan Mullā Shadrā.

 

Tinjauan Mistisisme Islam atas manusia dan pengetahuannya pada hukum ‘mengenal diri’. Dalam makalah Science of the Self as Depicted in the Story of the Snake-catcher: Rumi’s Mathnawi in Context, penulis menggunakan pandangan dan bahasa Rumi dalam menggunakan metafora untuk menunjukkan lapisan diri manusia dan, melalui imajinasi kreatifnya, menyajikan pesan dalam bentuk yang menarik dan nyata yang dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari, bahwa rangkaian simbol-simbol tersebut merepresentasikan diri manusia.

 

Para sufi percaya bahwa manusia adalah cermin sempurna Tuhan. Dalam hukum ‘mengenal diri’, terdapat dialektika yang saling mengisi: mengenal Tuhan, maka mengenal manusia; demikian pula sebaliknya. Makalah Is Olodumare, God in Yoruba Belief, God?: A Response to Benson O. Igboin, salah satu respon yang berkontribusi dalam meninjau Tuhan sebagai Wujud Mutlak (Absolute Reality) yang, dalam budaya Yoruba di Nigeria, dikenal dengan nama Olodumare. Dalam agama tradisional Yoruba, Olodumare tidak dapat disamakan dengan konsep Tuhan sebagaimana yang dipahami dalam agama Nasrani, namun tidak pula dapat dipisahkan. Jadi, Olodumare bukanlah Tuhan seperti yang dipahami dalam pemikiran agama Nasrani, melainkan Wujud Mutlak dalam teologi Yoruba.

 

Apakah pendekatan-pendekatan mistik ini sesungguhnya menunjang atau justru menghambat kemajuan dalam studi manusia dan relasi dirinya dengan Tuhan? Bagi sebagian ahli, mistisisme pada dasarnya malah membuat kemunduran sehingga, studi apa pun akan berdampak negatif bila ditempuh melalui pendekatan mistik. Pada titik yang berseberangan, penulis Klarifikasi Kritik Iqbal terhadap Intuisi Al-Ghazali mengidentifikasi pandangan ini berasal dari pemahaman mereka atas kritik Iqbal terhadap Al-Ghazali. Dengan mengklarifikasi kritik Iqbal, penulis menyatakan bahwa Iqbal mengkritik Mistisisme dari sisi epistemologi sehingga terbukti bahwa mistisisme bukanlah penyebab kemunduran umat.

 

Betapapun, “apakah manusia” satu dari sekian masalah paling primitif sekaligus aktual; sudah terlampau banyak jawaban dan makna yang dikemukakan. Edisi jurnal ini kiranya sejurus andil mengisi dan memperkaya makna manusia. Meski boleh jadi di beberapa tempat terasa terbatas atau mungkin dirasa belum tuntas, deskripsi langsung atau implikatif tentang manusia bisa membantu kita melihat betapa gambaran relatif detail tentang manusia dan jaraknya dengan manusia dalam konstitusi negara. Sekalipun gambaran manusia Indonesia itu, katakan saja, tampak buruk atau karikaturis di cermin mistisisme dan filsafat, itu bukan referensi bijak untuk segera pecahkan cermin konsititusi.

 

Selamat membaca!

 

Ammar Fauzi

Scroll to Top