Sadranews- Acara Studium General yang mengusung tema “Sistem dan Problematika Kewarisan di Indonesia” dengan menghadirkan narasumber, YM. Dr. H.Edi Riadi, S.H.,M.H (Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia) digelar di Auditorium STAI Sadra Jakarta.
Dalam penjelasannya terkait tema tersebut, Dr. Edi mengatakan Muktazilah berpendapat bahwa hukum itu sebetulnya akal manusia. Akal manusia itu sendiri punya instuisi hukum dan bisa menciptakan hukum. Walaupun tanpa al Quran hukum itu bisa dibuat seperti perbuatan membunuh dan mencuri itu tidak baik. Sumber hukum bisa dari wahyu atau intuisi manusia yang dierikan Allah. Setiap hukum yang diturunkan Allah termasuk hukum waris ini tidak diturunkan di tempat yang kosong tanpa hukum. Setiap masyarakat mempunyai hukum, hanya saja persoalannya apakah hukum itu memberikan kesetaraan dan keadilan atau tidak. Dalam surat an Nisa` ayat 7 hak perempuan dibedakan dari laki-laki karena hukum itu turun pada zaman Arab kala itu.
Ia melanjutkan, dalam fikih Sunni, keturunan dari perempuan itu bukan ahli waris. Penafsiran itu timbul dari latar belakang pola berpikir dengan hukum adat masyarakat saat itu. Oleh karena itu hukum harus berkembang sesuai budaya masyarakat dan zamannya. Kesetaraan gender dikuatkan dalam ayat al Quran yang berbunyi,“ Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Tuhan adalah orang yang paling bertakwa.” bukan masalah laki-laki atau perempuannya. Fikih Waris Sunni itu dipertanyakan seperti oleh ulama di Mesir bahwa kenapa cucu dari keturunan perempuan tidak mendapatkan warisan. Muncul pemikiran bagaimana supaya cucu dari keturunan perempuan itu juga mendapatkan warisan yaitu dengan menggunakan wasiat Wajibah yang isinya sama dengan bagian ahli waris.
“ Kalau di Pakistan bukan wasiat Wajibah tapi ada ahli waris pengganti, artinya ketika ibunya meninggal maka anak-anaknya berhak mendapatkan warisan dari kakeknya yang seharusnya diterima ibunya. Dalam pandangan hakim setap orang diberikan hak oleh Allah. Orang sejak dari rahim sudah punya hak. Hak sangat dihormati oleh Allah sedangkan manusia mengabaikannya. Dalam sejarah, Rosulullah saw menolak menjadi saksi ketika seorang wanita datang dan mengatakan telah memberikan sebagian harta kepada salah satu anaknya, sedangkan anaknya yang lain tidak diberi,” terangnya.
Dr. Edi menjelaskan bahwa pembagian harta warisan secara tdak merata kepada anak-anak bertentangan dengan surat an Nisa` ayat 7 yang mewanti-wanti bahwa dalam pembagian warisan itu jangan sampai ada anak yang tidak mendapatkannya karena dianggap tidak berhak sementara ia sangat membutuhkannya sehingga terjadi keretakan dalam kekerabatan. Terkait anak yang telah bersusah payah dalam mengurus orang tuanya, pasti seoang hakim sudah faham bahwa dia akan menggunakan wasiat Wajibah untuk memberikan bagian harta yang lebih banyak kepada anak tersebut dibandingkan anak-anak lain yang tidak sempat mengurus orang tuanya. Karena Allah memberikan hak-hak kepada seseorang yang masih hidup, ketika ia meninggal dunia maka hak-haknya diberikan kepada para ahli waris dari kerabatnya.
“Hanya pembunuhan dan beda agama yang dapat menghalangi orang untuk mendapatkan warisan. Hukum waris itu bersifat Ijbari atau natural dan tidak bisa dibuat-buat. Karena itu, tugas peradilan menegakkan hukum ketika hukum sesuai dengan keadilan dan menegakkan keadilan ketika tidak ada hukum atau ada hukum yang tidak berkeadilan. Seorang hakim tidak mengikuti mazhab apa pun dan mazhabnya hakim adalah keadilan itu sendiri,” imbuh Dr. Edi saat menyampaikan materinya yang dimoderatori oleh Ammar Fauzi, Ph.D, Rabu (4/12/2024) siang.
Lebih lanjut Ia mengatakan, bahkan dalam suatu kasus ketika ayat al Quran tertentu dirasa tidak memenuhi keadilan maka hakim boleh mencarikan penafsiran lain yang dirasa dapat memenuhi keadilan tersebut. Sebagaimana Khalifah Umar tidak menerapkan hukum potong tangan terhadap pencuri yang sedang kelaparan, inilah fungsi hakim. Di zaman Nabi saw melempar jumroh yang berupa tiang yang berdiri dan berbentuk vertikal, tapi di zaman sekarang kebutuhan zaman menuntut jumroh untuk berubah bentuk menjadi horizontal seperti kapal laut sehngga sasaran lemparnya menjadi banyak. Tawaf di zaman Nabi tidak sah dilakukan di atas Ka`bah, harus disampingnya, tetapi zaman sekarang dengan jutaan jemaah haji tawaf di atas Ka`bah menjadi sah.
Acara ini diakhiri dengan sesi tanya jawab dan para mahasiswa menggunakan kesempatan ini dengan menyampaikan beragam pertanyaan sehingga narasumber menjawabnya dengan penjelasan yang lebih luas.