Bedah Buku Ibnu Khaldun Karya Prof. Syed Farid Al-attas

P1010773Sadra-News. Prof. DR. Syed Farid Alatas, seorang Guru Besar dan sosiolog dari Universitas Nasional Singapura menulis sebuah buku tentang biografi seorang pelopor sosiolagi dari Timur Tengah bernama Ibnu Khaldun yang baru-baru ini diterjemahkan kedalam bahasa indonesia dan diterbitkan oleh penerbit MIZAN. Kamis 23/02 Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra menyelenggarakan Beda Buku atas karya ini. acara ini diselenggarakan di Aula Pertemuan Kampus STFI Sadra lt. 4. Dengan menghadirkan para pembicara lainnya seperti Dr. Ammar Fauzi, Kepala Departemen Riset STFI Sadra dan Dr. Husein Hariyanto, Direktur IC-Thusi. .3

Sayyed Faris menyatakan bahwa Ibn Khaldun merupakan pelopor dalam Ilmu Sosiologi walaupun kalangan barat hanya menempatkannya hanya sebagai penyaji fakta sejarah namun kebanyakan para pakar sosiologi memandang bahwa Ibnu Kaldun adalah ilmuan muslim yang paling cemerlang dan menempatkan posisinya sejajar dengan para sosiolog Barat. Ada tiga hal yang perlu kita fahami tentang para ahli, yakni pendekatan teori, metodologi, dan keyakinan intelektual. Ibnu Khaldun dan para ahli sosiologi seperti Karl Marx, Mark Weber dan sebagainya dapat dilihat dari tiga sudut pandang ini. Salah satu klaim intelektual Ibnu Khaldun yang menarik mengenai negara, bahwa dari kisah bangkit dan runtuhnya sebuah negara kita jarang menemukan adanya negara yang menerapkan kesetimbangan (tidak adil/Korup). Walaupun begitu menurut ilmu politik, negara tetap dilihat sebagai otoritas yang mememiliki legitimasi. Hal itu kita saksikan hingga saat ini. Dari banyak kejadian buruk yang berlaku diseputar penyelenggaraan negara (Korupsi, Skandal, intrik), khususnya di negara muslim membuat seolah kita tidak yakin bahwa Ilmu Politik dapat menjadi satu-satunya alat bantu untuk memahami fenomena bernegara selain tentunya (mungkin saja) disiplin Kriminologi.

Dr. Husein Hariyanto yang dalam kesempatan ini juga berkesempatan memberikan ulasan menyatakan bahwa kita menghadapi suatu era dimana tradisi intelektual telah runtuh dikarenakan pembatasan yang dibentuk oleh keyakinan-keyakinan teologis tertentu terhadap pengetahuan, Filsafat dan Spiritualisme yang akhirnya melahirkan kelompok masyarakat yang kaku dan menutup diri dari kemungkinan-kemungkinan intelektual yang begitu luas. Akibatnya kebanyakan kita tidak mengetahui pemikiran para tokoh-tokoh intelektual terutama dari kalangan muslim yang sebanding dengan tokoh-tokoh intelektual barat. Keterbatasan intelektual ini menyebabkan lahirnya gerakan-gerakan radikal yang memahami konsep-konsep agama dan idiologi secara kaku.

Selanjutnya Dr. Amar Fauzi bahwa ada beberapa hal yang harus di revisi dari pandangan kita terahdap Ibnu Khaldun, misalnya Ibnu Khaldun sering dipandang sebagai Montesqui Timur padahal Ibnu Khaldun lebih dulu ada ketimbang Montesque, harusnya kita melakukan pembalikan pandangan dengan mengatakan bahwa Montesque itu Ibnu Khaldun barat. Pola pernyataan seperti ini harus sering kita lakukan untuk menghapus penindasan intelektual yang selama ini menggerus kesadaran kita terhadap potensi-potensi diri kita.

Acara ini dihadiri oleh para dosen, Mahasiswa, para akademisi dan juga puluhan Mahasiswa dari Universitas Nasional Singapura yang berkesempatan hadir sebagai peserta dalam Diskusi Ilmiah ini.

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top