Melintasi seratus tahun kebangkitan nasional (1908) dan beyond, Islam Indonesia mengalami berbagai perkembangan sangat menarik dicermati. Sebagian perkembangan itu pada dasarnya merupakan kontinuitas tradisi dan aktualisasi historis yang muncul dalam perjalanan Islam selama beradab-abad di Indonesia. Namun, sebagian perkembangan itu juga merefleksikan berbagai perubahan cukup signifikan—jika tidak dapat disebut “transformasi”, dalam perjalanan Islam negeri ini, yang kemudian diikuti perubahan politik masa pasca Orde Baru. Jadi, secara keseluruhan, kita dapat berbicara tentang continuity and changes dalam Islam Indonesia, khususnya aspek intelektual, kelembagaan sosial-keagamaan, dan pranata ritual.
Perubahan-perubahan dalam masyarakat Muslim Indonesia terjadi tidak hanya pada tingkat intelektual atau pemikiran, tetapi juga pada tingkat kelembagaan. Perubahan pada kedua aspek ini berkaitan erat satu sama lain, dan karena itu, perubahan pada tingkat kelembagaan Islam di kawasan ini pada dasarnya sekaligus merupakan pengejewantahan atau aktualisasi dari perubahan dan perkembangan yang terjadi pada tingkat pemikiran.
Islam Politik, Islam Kultural
Perubahan itu terlihat semakin mengalami peningkatan, baik pada skala cakupan maupun orientasi pada masa pasca Soeharto. Kembalinya “Islam politik”, misalnya—di samping “Islam kultural” yang dominan pada masa Orde Baru, merupakan salah satu perubahan signifikan bagi perjalanan Islam Indonesia. Islam politik ini dapat dibedakan menjadi dua jenis.
Pertama, Islam politik yang direpresentasikan partai-partai Islam yang terlibat dalam proses politik demokratis sebagai usaha mencapai agenda politik tertentu seperti penerapan syariah Islam dan pendirian sebuah negara Islam. Islam politik ini pernah direpresentasikan Masyumi, NU, dan sejumlah partai gurem (1950-an); PPP (masa Orde Baru), dan sejumlah partai politik Islam baru seperti PKS, dan PBB dan banyak lagi pada masa pasca Soeharto.
Kedua, Islam politik yang direpresentasikan beberapa kelompok Muslim yang memiliki agenda politik yang hampir sama dengan kelompok pertama. Hanya saja, kelompok ini bukan merupakan partai politik, karena mereka tidak mengakui keabsahan proses politik yang ada. Mereka juga tidak mempercayai partai politik Islam maupun organisasi sosial keagamaan Islam mainstream seperti NU dan Muhammadiyah. Bagi mereka, partai politik dan organisasi Islam semacam ini terlalu mengakomodasi dan berkompromi dengan apa yang mereka anggap sebagai sistem dan proses politik tidak Islami.
Islam politik kelompok kedua sebagian besar direpresentasikan beberapa kelompok, misalnya DI/NII. Kelompok ini independen dari organisasi mainstream Islam Indonesia. Mereka melakukan pemberontakan melawan pemerintah Indonesia sebagai usaha mendirikan Negara Islam Indonesia. Pasca peristiwa 11 September 2001, kelompok kedua Islam politik ini mengekspresikan wacana dan praksis ekstrim dan radikal. Misalnya, Lasykar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jama’at Ikwanul Muslimin Indonesia (JAMI) dipimpin Habib Husein al-Habsyi; Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), al-Jama’ah al-Islamiyah (JI), yang kemudian bertransformasi menjadi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), yang akhirnya terbelah dengan munculnya Jamaat Ansharut Tauhid (JAT).
Sangat penting disebutkan di sini, beberapa dari kelompok tersebut telah dibubarkan pemimpinnya sendiri atau menghilang atau meredam aktivitasnya setelah sejumlah penangkapan dan pengadilan terhadap pelaku bom Bali dan sejumlah pemboman lain di Indonesia. Sebagian lagi tidak begitu aktif; dan sisanya terduga terlibat dalam jaringan sel teroristik.
Kebangkitan Lembaga
Selain Islam politik, berbagai lembaga Islam juga mengalami perkembangan dan perubahan cukup observable. Pada sebagian lembaga, perkembangan itu dapat dikatakan sebagai konsolidasi dan pemantapan lembaga-lembaga yang pernah ada pada masa sebelumnya dengan beberapa penyesuaian dengan perubahan dan tuntutan zaman. Dalam perkembangan itu pula, sebagian lembaga mengalami semacam “dekonstruksi”. “Dekonstruksi” yang mempunyai akarnya dalam reorientasi pemikiran, pada gilirannya menimbulkan orientasi baru gerakan, yang dalam tahap selanjutnya memunculkan lembaga-lembaga baru yang tidak pernah ada sebelumnya.
Perubahan lembaga Islam bisa dilihat perkembangan institusi pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren. Madrasah—dari ibtidaiyah (dasar), tsanawiyah (menengah pertama), aliyah (menengah atas), hingga IAIN/STAIN/UIN (perguruan tinggi) secara legal diakui dan dijamin eksistensinya sejajar dengan sistem dan kelembagaan pendidikan umum. Semua madrasah ini adalah “sekolah umum” bercirikan keagamaan Islam. Lebih jauh ini, lembaga-lembaga pendidikan Islam ini ditempatkan di dalam sistem pendidikan nasional yang berada di bawah tangggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara Kementerian Agama berfungsi sebagai “penyelenggara”.
Pesantren—yang mencakup madrasah, yang merupakan institusi pendidikan indigenous Islam Indonesia, yang mungkin sama tuanya dengan kedatangan dan penyebaran Islam. Pesantren telah memberikan sumbangan penting dan krusial dalam proses transmisi ilmu-ilmu Islam, reproduksi ulama, pemeliharan ilmu dan tradisi Islam, dan bahkan pembentukan dan ekspansi masyarakat muslim-santri dan kelas menengah Muslim. Setelah melalui sejarah yang panjang, kini pesantren terus menemukan momentum dan mendapat perhatian lebih serius dari masyarakat dan pemerintah.
Perkembangan yang sama juga dapat dilihat pada peradilan agama Islam, yang dikukuhkan eksistensinya sejajar dengan peradilan-peradilan lainnya dalam cakupan Mahkamah Agung (MA). Dalam konteks perkembangan peradilan agama Islam ini, perlu pula disinggung tentang kodifikasi hukum Islam untuk menjadi pegangan bagi para hakim agama. Kodifikasi hukum Islam ini hampir sepenuhnya berdasarkan hukum Islam dari berbagai mazhab fikih, khususnya mazhab Syafii.
Kelembagaan Islam lainnya yang juga mengalami perkembangan fenomenal adalah majelis taklim. Kelihatannya, majelis taklim merupakan perkembangan lebih lanjut dari “pengajian” yang berlangsung di masjid, musalla, dan langgar di masa lalu. Majelis taklim sering diidentikkan dengan lapisan masyarakat bawah yang tradisional, dan kini majelis taklim juga terdapat di lingkungan elite. Majelis taklim bukan sekadar sebagai “majelis belajar”, tetapi juga berkembang menjadi unit pengembangan usaha sosial-ekonomi dan lokus pendidikan masyarakat dalam berbagai bidang.
Tentu saja, masih banyak lembaga Islam yang mengalami perubahan dan perkembangan selama seratus tahun belakangan ini, khususnya sejak 1990an. Beberapa contoh di atas agaknya memadai untuk memahami pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga Islam selama ini. Jelas terdapat kecenderungan kuat terjadinya proliferasi kelembagaan Islam dalam berbagai aspek kehidupan kaum Muslim Indonesia. Persoalannya, bagaimana kita memahami proliferasi kelembagaan Islam itu? Faktor-faktor apakah yang menyebabkan perkembangan kelembagaan Islam secara cukup fenomenal.
Secara umum dapat dikatakan, faktor penyebab proliferasi kelembagaan Islam sangat kompleks. Namun, satu hal jelas, proliferasi itu bukanlah muncul secara mendadak, tetapi merupakan hasil dan konsekuensi dari proses perkembangan historis yang panjang. Di antara faktor penyebab pertumbuhan dan perkembangan kelembagaan Islam adalah ekspansi kaum santri melalui pendidikan. Pasca kemerdekaan, kaum Muslimin memperoleh kesempatan lebih luas mendapatkan pendidikan. Perluasan ini, khususnya pada pendidikan tinggi, menghasilkan buahnya dalam bentuk “panen raya sarjana”, yang sering disebut sebagai kebangkitan “kelas menengah Muslim”.
Intellectual Boom dan Pemikiran Islam
Intellectual boom umat Islam Indonesia terus berlanjut hingga kini. Pada masa Orde lama, para sarjana Muslim tidak dapat mengekspresikan diri dan keislaman mereka, karena represi Soekarno. Sejak awal 1970-an, mereka mulai tampil ke permukaan sosial dan memasuki berbagai lapangan kerja. Dan, di tempat kerja, mereka berusaha mengaktualisasikan keislaman melalui kegiatan-kegiatan dakwah, dan pembentukan serta pengembangan kelembagaan Islam. Bahkan, “kelas menengah Muslim” mampu mendorong dan bahkan menjadi backbone peningkatan fenomenal dan aktualisasi pranata Islam, seperti ibadah zakat, infak, dan sadaqah (filantropi Islam); haji dan umrah, dan sebagainya.
Kebangkitan intelektual Muslim Indonesia memberikan sumbangan penting ke arah pertumbuhan pemikiran Islam. Merupakan kesinambungan pemikiran Islam yang tumbuh sejak awal abad 20, kaum intelektual Muslim Indonesia mengembangkan berbagai corak pemikiran Islam. Juga jelas corak-corak pemikiran Islam yang berbeda itu juga berkembang dari interplay di antara doktrin dan pemahaman Islam dengan lingkungan keindonesiaan yang terus berubah.
Demikian, pada 1970an Islam Indonesia menyaksikan kemunculan pemikiran Nurcholish Madjid tentang ‘Islam yes, partai Islam no’; dan ‘sekularisasi dan desekularisasi yes, sekularisme no. Dalam kajian tertentu, seperti Muhammad Kamal Hassan, pemikiran Nurcholish Madjid terkait baik tidak hanya dengan realitas politik Islam Indonesia yang tidak representatif mengatasnamakan Islam, tetapi juga terkait dengan upaya untuk memurnikan tawhid.
Pada saat yang hampir bersamaan, Harun Nasution memperkenalkan ‘Islam rasional’, yang menekankan pentingnya teologi yang memberikan tempat lebih besar kepada free-will dan free-act. Pemikiran Harun Nasution dalam segi tertentu terkait dengan pembangunan dan modernisasi Indonesia yang dilancarkan rejim Soeharto yang memerlukan dukungan teologi rasional yang dapat mendorong munculnya etos kerja dan kemajuan ekonomi. Dengan menekankan teologi rasional, pada saat yang sama Harun Nasution mendorong tumbuhnya prasyarat penting bagi renaisans peradaban Islam, khususnya Islam Indonesia.
Pada segi lain, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengembangkan pemikirannya tentang ‘pribumisasi’ Islam—yaitu Islam yang kontekstual dengan lingkungan sosio-kultural dan tradisi Indonesia sendiri. Gagasan Gus Dur tentang pembaharuan pesantren dan pengucapan ‘selamat pagi’ ketimbang ‘assalamu’alaykum wa rahmatullah wa barakatuh’ jelas tidak terlepas dari upaya integrasi Islam ke dalam keindonesiaan secara terpadu dan utuh dengan mempertimbangkan keragaman, pluralisme, dan multi-kulturalisme Indonesia sendiri.
Pada sisi lain juga ada Ahmad Syafii Maarif yang menekankan ‘pembumian’ al-Qur’an. Bagi dia, pemahaman al-Qur’an yang tidak membumi menjadi salah satu faktor utama kemunduran dan keterbelakangan umat Muslimin. Bagi Buya Syafii hanya dengan pembumian al-Qur’an, Islam dan kaum Muslimin dapat keluar dari limbo sejarah dan pada gilirannya membangun peradaban Islam yang memberikan maslahat bagi kemanusiaan secara keseluruhan.
Akhirnya, perlu disinggung Munawir Sjadzali dengan gagasan tentang ‘reaktualisasi’ Islam, khususnya menyangkut fiqh, lebih spesifik lagi terkait pembagian harta waris sesuai fara’idh yang menurut dia tidak adil terhadap anak perempuan. Karena itulah perlu pemikiran ulang tentang ketentuan fara’idh, sehingga Islam dan kaum Muslimin dalam kenyataannya menempatkan dapat menempatkan kaum perempuan Muslimah pada posisi setara dengan laki-laki sejak dari lingkungan kehidupan keluarga sampai masyarakat luas.
Harus diakui, pemikiran Islam Indonesia mengalami semacam ‘stagnasi’ dalam masa pasca-Soeharto. Hal ini terkait banyak dengan penerapan demokrasi yang membuat terseretnya kalangan pemikir dan cendekiawan Muslim ke dalam politik. Ini terlihat jelas dalam pengalaman tokoh semacam Gus Dur yang kemudian terpilih sebagai Presiden (1999-2001), M. Amien Rais, Ketua MPR (1999-2004), dan bahkan juga Nurcholish Madjid yang sempat terlibat kiprah politik untuk maju sebagai Capres lewat Konvensi Partai Golkar menjelang Pilpres 2004.
Di tengah suasana seperti itu, dua macam ‘fundamentalisme’ wacana dan pemikiran muncul di tengah dinamika Islam Indonesia. Pertama, ‘fundamentalisme liberal’ yang diwakili Jaringan Islam Liberal (JIL) yang bertujuan untuk mendinamisasi Islam dan umat Muslimin melalui peninjauan ulang dan bahkan dekonstruksi terhadap ajaran dan pemikiran Islam yang mapan dan stagnan selama berabad-abad. Kedua, ‘fundamentalisme literal’ yang menolak apa yang mereka sebut sebagai ‘liberalisme’, ‘pluralisme’ dan ‘sekularisme’. Jika kelompok pertama sering dianggap sebagai banyak terpengaruh pemikiran dan konsepsi Barat, sebaliknya kelompok kedua dipandang sebagai terpengaruh pemikiran dan praktek Islam Salafi atau bahkan Wahabi.
Bisa dipastikan tarik tambang (tug of war), pergumulan dan kontestasi di antara beragam kecenderungan pemikiran Islam Indonesia bakal terus berlanjut. Hal ini jelas terkait dengan tradisi keterbukaan yang terus pula bertahan dan berlanjut di Indonesia hari ini dan ke depan. Dengan dominannya arus utama (mainstream) Islam Indonesia seperti diwakili NU, Muhammadiyah dan banyak ormas Islam semacamnya di seluruh Indonesia, pergumulan dan kontestasi tersebut tidak akan mengubah corak dan karakter Islam Indonesia secara keseluruhan. Islam Indonesia tetap merupakan Islam Washatiyyah, Islam Jalan Tengah yang menampilkan flowery Islam yang ramah, akomodatif dan toleran pada keragaman tanpa harus hanyut dalam berbagai arus perubahan.
Penutup
Capaian-capaian yang telah diraih umat Islam Indonesia dalam seratus tahun belakangan ini memiliki makna penting bagi masa depan bangsa dan negara, dan karena itu harus terus dikembangkan dan ditingkatkan. Saya memperkirakan bahwa sebagian besar perkembangan ini akan terus berlanjut di dalam abad-abad mendatang. Setidaknya, pertumbuhan dan perkembangan itu menjadi modal berharga untuk menatap masa depan yang lebih baik ketimbang di masa-masa silam.
Untuk itu, umat Islam Indonesia mestilah banyak bersyukur atas semua pencapaian itu. Memang masih banyak ‘PR’ yang harus dikerjakan, tetapi itu seharusnya tidak membuat umat Islam tetap memiliki ‘mentalitas terkepung’ (under siege mentality) atau ‘mentalitas pecundang’ (losers’ mentality), yang dapat membuat orang mudah mengamuk.
Sebaliknya, dengan rasa syukur, umat dapat terus meningkatkan pencapaiannya menuju renaisans Indonesia yang jaya abad demi abad ke depan. Kenyataan sekitar 88,7 persen dari total 240-an juta penduduk Indonesia adalah Muslim memberikan konsekuensi, bahwa kebangkitan Islam Indonesia menjadi faktor sangat penting bagi renaisans Indonesia secara keseluruhan.
Makalah untuk Public Lecture di ICAS, Jakarta 15 Maret 2013
Prof.Dr. Azyumardi Azra
Guru besar Sejarah dan Direktur Sekolah Pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.