Sadranews- Dalam rangka mengulas sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan, STAI Sadra menggelar acara Seminar Nasional berjudul, “Wawasan Kebangsaan dan Moderasi Beragama” dengan menghadirkan narasumber, Dr. H. Sa`dullah Affandy, M.Ag (Direktur Said Aqil Siroj Institut) dan Basrir Hamdani, Ph.D (Dosen STAI Sadra) di Aula Al Mustafa STAI Sadra.
Acara ini dibuka pukul 9.00 WIB dengan pembacaan kalam Ilahi dan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang diikuti dengan penuh khidmat oleh seluruh hadirin. Acara tersebut juga dihadiri para dosen dan mahasiswa STAI Sadra.
Dalam presentasinya, Dr. H. Sa’dullah Affandy menyampaikan bahwa Islam dianggap sebagai agama pelengkap dari agama-agama sebelumnya, menyempurnakan dan memperluas pesan-pesan yang telah diajarkan oleh tradisi-tradisi sebelumnya. Dalam konteks ini, moderasi dalam Islam mengandung makna bahwa ajaran-ajarannya harus selalu berinteraksi secara konstruktif dengan konteks sosial yang ada.
Ia menambahkan, hal ini berarti ajaran Islam dirancang untuk diterima oleh masyarakat dengan menekankan kepentingan umum dan kesejahteraan bersama, memastikan bahwa prinsip-prinsip agama tidak hanya relevan tetapi juga bermanfaat bagi kehidupan sosial dan komunitas. Semua agama pada dasarnya mengarah pada pemahaman yang sama mengenai ketuhanan, meskipun mereka menempuh jalan ajaran yang berbeda.
“Setiap agama menawarkan cara unik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, namun tujuan akhir dari pencarian spiritual dan moral adalah serupa, yakni mencapai kedekatan dengan Sang Pencipta dan memahami hakikat kehidupan,” ungkap Dr. Sa`dullah dengan penuh semangat di hadapan para dosen dan mahasiswa, Jumat (16/8/2024) pagi.
Sementara Basrir Hamdani, Ph. D menjelaskan bahwa konsep wawasan kebangsaan dan moderasi memiliki hubungan universal sebagai salah satu model relasi konsep universal dalam ilmu logika, yakni moderasi beragama adalah bagian dari wawasan kebangsaan. Selain itu para pejuang kemerdekaan Indonesia, ketika merumuskan Pancasila-khususnya sila pertama-berusaha keras untuk menerapkan prinsip moderasi.
“Memaksa orang lain untuk sama dengan kita itu bukan sikap moderasi. Yang harus dilakukan adalah menghormati perbedaan yang ada dengan memperhatikan nilai-nilai yang universal. Toleransi akan lahir dari sikap menghormati perbedaan. Prinsip moderasi bisa diwujudkan melaluj dialog-dialog keberagaman dengan menolak ekstremisme,” tegasnya.
Ia melanjutkan, para pejuang kemerdekaan menghindari ekstremisme dan berusaha mengakomodasi berbagai aspirasi penting agar Pancasila dapat menjadi landasan yang kokoh dan inklusif bagi bangsa. Moderasi, dalam analisis yang lebih mendalam, berarti menjaga keseimbangan antara dua dimensi penting berupa hubungan vertikal, yaitu hubungan antara hamba dengan Tuhan, dan hubungan horizontal, yaitu hubungan antara hamba dengan sesama manusia.