Sadranews-Dalam rangka mengkaji jejak-jejak peristiwa kesyahidan Al Husein pada Asyuro` di Nusantara, STAI Sadra menggelar WebinarNasional berjudul “Jejak Asyuro` di Nusantara pada Tari Saman, Tradisi Tabut dan Grebeg Suro” secara hybrid di Aula Al Mustafa, Jumat (5/08/2022) siang.
Acara yang dibuka pukul 13.30 Wib tersebut dihadiri oleh kurang lebih 100 peserta dengan narasumber Bapak Ahmad Fauzan, Ir. Achmad Syiafril SY dan Sri Wintala Achmad.
Jejak tradisi Asyuro hidup dalam budaya di beberapa tempat di Indonesia. Islam yang ada di nusantara sangat kental dipengaruhi oleh kecintaan kepada Ahlulbait Nabi saw. Bulan Suro` adalah bulan yang dikenang atas peristiwa yang menimpa keluarga Nabi saw di dalamnya. Di Aceh ada budaya Tari Saman, di Padang ada tradisi Tabuik, di Bengkulu ada tradisi Tabot dan di jawa ada tradisi Grebeg Suro dan pembagian bubur merah dan putih. Ini menandakan bahwa beberapa budaya dan tradisi di Indonesia erat kaitannya dengan peristiwa kesyahidan cucu Nabi saw di Karbala.
“Islam di Nusantara memiliki hubungan kuat dengan kecintaan pada keluarga Nabi saw dan dahulu bulan Muharram dianggap sebagai bulan duka keluarga Nabi saw dimana pada umumnya orang-orang menghindari perayaan acara-acara kegembiraan karena menghormati peristiwa tragis yang terjadi pada bulan Muharram,” ungkap Dr. Kholid selaku moderator acara ini.
Sementara itu seorang budayawan Aceh, Ahmad Fauzan menyampaikan bahwa pertama kali Islam masuk ke Nusantara atau wilayah Aceh saat itu dengan pendekatan sufistik. Para pembawa Islam pedagang-pedagang dari Gujarat dan Persia yang kala itu datang ke Aceh Timur tepatnya di kerajaan Perlak. Persia masuk ke Aceh saat itu melalui faktor budaya pada saat penyebaran Islam di abad sembilan. Sezaman dengan kerajaan Pasai, muncul literasi teks-teks dari Persia yang berhubungan dengan peristiwa perang Sayyidina Husein kemudian disadur ke dalam bahasa Melayu dan Aceh seperti kisah Muhammad Hanafi yang disadur dari Dastane Amir Hamzah.
Budaya Persia masuk ke Aceh dan mempengaruhi hikayat yang berarti percakapan biasa menjadi prosa panjang sehingga muncul lah hikayat Hasan-Husein. Dari sana nuncul pula Tari Saman yang menguatkan dakwah Islam. Di abad ke delapan belas muncul Tarikat Samaniyah yang dibawa dari Madinah dan seiring berjalannya waktu muncu lah Tari Sedati yang merupakan kembangan dari Tari Saman. “Tepukan di dada dan perut pada Tarian Saman dan Sedati merupakan jejak-jekak yang masih bertahan sejak masuknya Islam melalui pendekatan sufistik Persia. Lalu masuk dalam cerita hikayat Hasan-Husein yang menyebut bulan Muharram khususnya pada Asyuro` dengan bulan Hasan-Husein,” tegasnya.
Selain itu Ir. Achmad Syiafril SY ( Ketua Perkumpulan Keluarga Kerukunan Tabut, Bengkulu) menjelaskan tradisi yang hingga kini terus berjalan terkait Asyuro di Bengkulu adalah Tabut dengan ejaan lama “Taboet” bukan Tabot. Tradisi Tabut mulai ramai dikenal masyarakat pada tahun 1888. Prosesi upacara Tabut dimulai dengan berziarah di makam Imam Kumbolo, membaca doa keselamatan dan melakukan upacara mengambil tanah dalam rangka mengenang masa kecil Imam Husein yang saat itu dalam pangkuan Rasulullah saw.
Lalu datang lah Jibril memberitahukan bahwa Imam Husein akan terbunuh di padang Karbala. Ummu Salamah berkata, “Bagaimana kita mengetahui hal itu”. Kemudian Jibril memberikan segenggam tanah dari Karbala kepada Rasulullah saw dan Rasulullah saw memberikan tanah tersebut kepada Ummu Salamah supaya disimpan. Jibril berkata,” Bila tanah tersebut berubah berwarna merah, ketahuilah bahwa Al Husein telah terbunuh”. Upacara mengambil dua genggam tanah untuk mengenang satu genggam tanah pertama dari malaikat Jibril dan satu genggam tanah kedua untuk mengenang tanah yang diambil Imam Husein sendiri dan diberikan kepada Ummu Salamah.
“Ada tiga kata kunci dalam tradisi Tabut di Bengkulu. Pertama, mengenang kesyahiadan Imam Husein, para keluarga dan sahabatnya. Kedua, mengenang kejayaan Islam yang terjadi pada abad ketujuh sampai abad ketiga belas. Ketiga, menyambut tahun abru Islam. Upacara Tabut ini masuk dalam even nasional dimana di tahun 2023 nanti akan dijadikan festival internasional oleh menteri pariwisata,” paparnya.
Pada kesempatan yang sama, Bapak Sri Wintala Achmad, budayawan dan peneliti budaya Jawa menjelaskan bahwa dalam masyarakat Jawa malam satu Suro dimulai dengan hari Jumat Legi. Itu berkaitan erat dengan kisah Sunan Giri yang ingin menyatukan kalender Jawa, Hijriah dan Hindu. Peringatan Suro bukan hanya mengenang Al Husein tapi juga mengenang produk budaya yang diciptakan Sunan Giri dan Sultan Agung Mataram. Dalam Grebeg Suro terdapat simbol-simbol seperti payung dan tombak yang konteksnya terkait dengan dunia pewayangan, seperti Prabu Kunta Dewa yang memiliki tiga pusaka yaitu Surat Kalimo Sodo, Tombak Korowelang dan Payung Tunggul Nogo. Berdasarkan pandangan dari Sunan Kali Jaga bahwa Surat Kalimo Sodo itu konsepnya adalah kalimat Syahadat.
Pemimpin suatu negeri harus berpegang pada Syahadat. Payung Tunggul Nogo maksudnya pemimpin suatau negeri harus berlindung kepada Tuhan. Tombak Korowelang artinya pemimpin suatu negeri harus cerdas. Upacara Grebek Suro dengan “Mubeng Beteng” itu dilakukan dengan puasa bicara yang merupakan tantangan terberat dalam ritual ini. Jika puasa bicara berhasil dilakukan, maka mereka akan mendapatkan pengalaman transendental yaitu tingkatan Manunggaling Kawulo Gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan).
“Peringatan malam satu Suro bukan hanya “Mubeng Beteng” ada banyak macam ritual yang dilakukan masyarakat Jawa. Ada yang bertapa dengan berendam di air, ada yang melakukan ritual di makam raja-raja dan ada yang berjalan ke luar rumah tapi tidak di lingkungan istana. Sekarang tradisi itu dalam Kampung Literasi Pakem berubah menjadi perayaan pesta seperti perayaan tahun baru dan pernikahan pada malam satu Suro,” ujarnya.