Sadranews-Terkait 40 hari kesyahidan Jenderal Qassem Solaemani sebagai simbol perlawanan terhadap imperialisme dan pembelaan terhadap orang-orang tertindas di dunia, STFI Sadra kembali menyelenggarakan Acara Konferensi Internasional yang bertujuan untuk menggali kekuatan perjuangan dan kepahlawanan Qassem Solaemani dalam membela kaum tertindas muslimin khususnya di Timur Tengah dan upaya membangun peradaban Islam.
Acara yang mengusung tema “Peradaban Modern Islam dan Tantangan Dunia Islam” ini digelar pukul 13.00 WIB, di Auditorium Al Mustafa, Jumat (28/2). Selain para dosen, mahasiswa, karyawan dan tamu undangan, turut hadir di pula Dr. Hossein Mottaghi dan Dr. Kholid Al Walid serta Dr. KH. Jalaluddin Rahmat, Dr. Muhammad Zain, M.Ag, Dr. Dina Y. Sulaeman dan Ammar Fauzi, Ph.D yang sekaligus sebagai pembicara.
Berkenaan dengan solusi menghadapi faham ekstremisme, Dr. Jalal mengungkapkan fenomena keberagamaan baru para penganut agama termasuk sebagian kaum muslimin Indonesia yang melepaskan Islam dari budayanya. Sebagaimana kemunculan standarisasi di era globalisasi. Hal ini menimbulkan polemik dalam kehidupan beragama dan menjadi kendala dalam pembangunan peradaban Islam. “Solusinya, mengembalikan agama pada tradisinya dan jangan dilepaskan,” tegasnya.
Dalam kesempatan ini, Dr. Mottaghi mengingatkan salah satu langkah imprealisme dunia, menguatkan kelompok Islam ekstremis seperti dukungan Amerika terhadap kelompok Isis untuk menghancurkan kaum muslimin dan mencoreng wajah Islam yang Rahmatan Lilalamin. “Diskursus Revolusi Islam dihadirkan selain membawa misi perlawanan terhadap penjajahan dan melakukan pembalaan terhadap kaum tertindas, juga untuk membangun peradaban baru Islam,”ungkapnya.
Sementara Dr. Mohammad Zain, M.Ag menyampaikan rendahnya literasi agama dalam masyarakat dan adanya upaya pembalikan wajah Islam dari Rahmatan Lilalamin dan fleksibel menjadi wajah yang kaku dan intoleran. “Peran moderasi agama dibutuhkan selain untuk mengatasi situasi menyimpang saat ini, juga untuk membangun peradaban Islam,”paparnya.
Disamping itu, Dr. Dina Sulaeman lebih spesifik menyoroti tindakan Amerika membunuh Qassem Sulaemani yang bertujuan untuk melemahkan kekuatan Islam. Secara hukum internasional tindakan pembunuhan tersebut jelas merupakan teror dan pelanggaran, meskipun Trump mengatakan pembunuhan tersebut dilakukan untuk membela diri karena merasa keberadaan Qassem Solaemani sebagai ancaman. “Tentu saja menurut kaca mata hukum internasional, pembelaan diri Trump terkait kasus ini sangat lemah dan ditolak para pakar hukum internasional,” pungkasnya.
Terkait sosok Qassem Solaemani, Ammar Fauzi, Ph.D lebih jauh menjelaskan kehidupan sederhana dan kepatuhan terhadap pemimpin tertingginya yang tergambar dalam akhlak dan keberaniannya yang pantang tunduk terhadap kezaliman. Gugur sebagai pahlawan namanya menjadi harum dan abadi, sebagaimana nama Jenderal Sudirman yang dijadikan nama jalan di kota-kota besar Indonesia. “Sebelum mati syahid Qassem Solaemni sudah hidup syahid. Ia berhasil membunuh egonya. Ia pernah berpesan akan memberikan pertolongan kepada pembunuhnya dan ditulis namanya di batu nisan sebagai seorang prajurit, tidak lebih,” tandasnya.
Sebelum konferensi Internasional tersebut diakhiri dengan poto bersama, dilakukan penyerahan sertifikat kepada para narasumber.