Kuliah Penutup yang Menggugah: Staf Ahli Wakil Menteri Luar Negeri RI Bongkar Peta Dunia dengan Gagasan Kewarganegaraan Global

Sadranews- Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra menghadirkan Staf Ahli Wakil Menteri Luar Negeri RI, Henwira Halim, sebagai dosen tamu dalam Kuliah Penutup tentang Pancasila dan Kewarganegaraan. Acara yang digelar pada Senin, (8/12/2025) di Auditorium Al Mustafa tersebut diikuti seluruh mahasiswa angkatan 2025 dan mengangkat tema “Kewarganegaraan, Nasionalisme dan Tantangan Masyarakat Terbuka.”

Tema tersebut menjadi rangkuman puncak pembelajaran kewarganegaraan yang menuntut mahasiswa memahami dinamika global sekaligus meneguhkan identitas kebangsaan berdasarkan nilai-nilai luhur bangsa dan agama.

Dalam pemaparannya, Henwira Halim—yang dikenal sebagai pakar geopolitik dan ekonomi pertahanan—menyampaikan pengantar komprehensif soal konsep negara, warga negara, bangsa, dan kebangsaan, serta dampak adaptasi konsep-konsep tersebut terhadap kehidupan warga.

Menurutnya, pemahaman ini penting bagi setiap individu sebagai pemegang hak (rights holders) atas hak asasi manusia, hak hukum, hingga hak politik. Tanpa pemahaman tersebut, warga negara akan mudah terjebak pada bias politik, informasi, maupun identitas.

Henwira juga menyoroti sejarah kolonialisme dan hegemoni politik global yang membentuk kembali pemaknaan kewarganegaraan di berbagai negara. Ia mencontohkan kebijakan anti-imigran era Donald Trump di Amerika Serikat sebagai sikap yang “ahistoris” dan merefleksikan bentuk rasisme modern karena mengabaikan fakta bahwa Amerika dibangun oleh para imigran Eropa.

Konsep nasionalisme sempit seperti itu, jelasnya, lahir dari prasangka dan motif ekonomi, bukan dari kesadaran kebangsaan yang sehat.

Henwira menegaskan bahwa warga negara Indonesia memiliki posisi strategis dalam percaturan dunia dan layak disebut sebagai global citizen. Alasannya, pertama, letak geografis Indonesia yang berada di jalur maritim dunia. Kedua, identitas Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, yang memberi pengaruh pada citra Islam global. Ketiga, sejarah bersama negara-negara Global South yang pernah mengalami kolonialisme. Keempat, pancasila sebagai dasar nilai kemanusiaan dan keadilan yang dapat menjadi pandangan dunia Indonesia.

“Nilai-nilai ini memberi kita modal untuk berkontribusi dalam peradaban global, bukan hanya menjadi penonton,” ujarnya.

Sesi diskusi berlangsung hangat. Mahasiswa mengajukan pertanyaan reflektif, mulai dari relevansi nasionalisme bagi Gen Z, kemungkinan mengubah tatanan dunia yang penuh konflik, hingga pertanyaan filosofis tentang apakah konsep kewarganegaraan—yang bersifat konstruksi politik—harus lebih diutamakan dibanding kebebasan alami manusia untuk berpindah tempat.

Henwira menjawab tiap pertanyaan secara jernih, menghubungkannya dengan konteks sejarah, geostrategi, dan dinamika global masa kini.

Menutup kuliah, Henwira mengingatkan mahasiswa untuk terus mencermati perkembangan dunia yang kian dipengaruhi persaingan negara besar, kesenjangan sosial-ekonomi, perubahan iklim, hingga dinamika politik asimetris.

Ia menekankan bahwa kesadaran tersebut tidak boleh dibatasi oleh ruang akademik kampus. “Kalian adalah generasi yang kelak akan memegang kendali negara. Kecermatan membaca dunia adalah kewajiban moral, bukan sekadar tugas kuliah,” pungkasnya.

Kuliah penutup ini menjadi refleksi penting bagi mahasiswa STAI Sadra untuk melihat kewarganegaraan bukan sekadar status administratif, tetapi juga tanggung jawab aktif dalam membentuk masa depan bangsa di tengah perubahan global.

 

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top