Problem of Faith
Arus perubahan dan perkembangan kebudayaan manusia kontemporer yang begitu progresif berjalan beiringan dengan semakin derasnya tantangan yang muncul bagi kesadaran religius yang bertumpu pada keyakinan akan adanya Tuhan. Beberapa tantangan tersebut muncul dari, misalnya, sekularisme, saintisme-positivisme, sebagian pemikiran eksistensial Barat, yang bahkan berujung pada penolakan iman kepada Tuhan atau ateisme.
Pergeseran paradigma mereka dalam memandang peran Tuhan, termasuk di dalamnya ketidakbermaknaan konsep-konsep religius, misalnya konsep Tuhan, malaikat, dan ekspresi-ekspresi religius semakin gencar dilontarkan seiring munculnya kaum positivisme logis.
Namun, pandangan yang tampak mengembalikan dimensi ‘makna’ ke pangkuan agama dan membela agama dari positivisme logis ini bukan tanpa persoalan. Gagasan khas posmodenis dan post-strukturalisme berkonsekuensi pada munculnya peran bahasa agama yang tidak merefleksikan fakta, hanya sebatas instrumen untuk mempengaruhi kesadaran manusia agar bertindak secara moral. Menurut Dr. Muhammad Legenhausen, agamawan yang berfikir ala posmo akan lebih memandang agama lebih fokus pada urusan menyelamatkan (salvation), bukan mengetahui (gnosis). Karenanya dalam pandangan ini, agamawan atau filosof yang berusaha membuktikan keyakinannya secara rasional dan filosofis atas keberadaan Tuhan dan status ontologis realitas metafisik dianggap sebagai kelompok yang rada naïf .
Problem of Faith
Arus perubahan dan perkembangan kebudayaan manusia kontemporer yang begitu progresif berjalan beiringan dengan semakin derasnya tantangan yang muncul bagi kesadaran religius yang bertumpu pada keyakinan akan adanya Tuhan. Beberapa tantangan tersebut muncul dari, misalnya, sekularisme, saintisme-positivisme, sebagian pemikiran eksistensial Barat, yang bahkan berujung pada penolakan iman kepada Tuhan atau ateisme.
Pergeseran paradigma mereka dalam memandang peran Tuhan, termasuk di dalamnya ketidakbermaknaan konsep-konsep religius, misalnya konsep Tuhan, malaikat, dan ekspresi-ekspresi religius semakin gencar dilontarkan seiring munculnya kaum positivisme logis.
Namun, pandangan yang tampak mengembalikan dimensi ‘makna’ ke pangkuan agama dan membela agama dari positivisme logis ini bukan tanpa persoalan. Gagasan khas posmodenis dan post-strukturalisme berkonsekuensi pada munculnya peran bahasa agama yang tidak merefleksikan fakta, hanya sebatas instrumen untuk mempengaruhi kesadaran manusia agar bertindak secara moral. Menurut Dr. Muhammad Legenhausen, agamawan yang berfikir ala posmo akan lebih memandang agama lebih fokus pada urusan menyelamatkan (salvation), bukan mengetahui (gnosis). Karenanya dalam pandangan ini, agamawan atau filosof yang berusaha membuktikan keyakinannya secara rasional dan filosofis atas keberadaan Tuhan dan status ontologis realitas metafisik dianggap sebagai kelompok yang rada naïf .
Kritik pedas terhadap saintisme atau positivisme lainnya muncul dilontarkan oleh kaum eksistensialis, namun perlawanan ini tidak serta merta mengurangi tantangan bagi keyakinan religius melainkan memberikan bentuk tantangan baru bagi masalah keimanan terhadap Tuhan. Kaum eksistensialis, semisal Heideger dan Sartre, yang sangat concern dengan persoalan kemanusiaan pun mempertanyakan ketundukan kita pada agama sebagai sebuah bentuk objektifikasi diri, di mana subjek manusia bertindak bukakn atas dasar kehendak bebas dan kesadarannya sebagai subjek otonom, melainkan sebagai objek yang ditundukkan pada seperangkat keyakinan teologis tertentu mengatasi kesadaran khas miliknya sendiri. Karenanya, apa yang dia lakukan tidak lagi mencermikan kesadaran otentik dan kehendaknya melainkan demi merealisasikan sesuatu yang bersifat eksternal dari subjek. Manusia tidak lagi bebas otonom, menjadi tuan dalam berfikir dan bertindak, melainkan dikontrol oleh faktor eksternal, persis seperti kawanan domba. Keyakinan religius dalam sebagian kaum eksistensialisme seperti Heideger dan Sartre akhirnya dipandang sebagai salah satu sumber bencana yang membuat manusia semakin teralienasi.
Beberapa contoh di atas cukuplah memperlihatkan bahwa terjadinya transformasi yang pesat dalam beragam aspek kehidupan memberi kita sebuah latar situasi dan konteks yang dipenuhi tawaran-tawaran baru yang saling bersaing menantang religiusitas dan keimanan pada Tuhan.
Tentu saja respon terhadap beragam tantangan-tantangan kontemporer terhadap masalah keimanan dan mempertahankan keimanan sudah menjadi tanggung jawab kita, sebagai penganut agama. Persoalannya, modus respon apa ditawarkan juga menentukan keberhasilan kita menjawab tantangan-tantang tersebut.
Salah satu modus respon yang mungkin banyak dilakukan agamawan untuk mempertahankan iman di masa kontemporer ini adalah dengan memagari keyakinan agama umat sehingga keyakinan tersebut begitu tertutup rapat dari pengaruh luar, bahkan dari sikap bertanya yang merefleksikan mentalitas rasional yang membangun diskursus modernitas, yang dinilai akan mengkoptasi kemurnian iman. Untuk itu, keyakinan religius yang diajarkan agama ditempatan sebagai dogma yang harus diterima tanpa analisis kritis. Mempertanyakan dogma dipandang sebagai sikap perlawanan (murtad).
Sikpa semacam ini tentu saja bukan respon yang tepat dengan beberapa alasan: pertama, modus reaksi dogmatis semacam ini adalah bentuk jawaban yang muncul dari ketidaktahuan dan ketidakmampuan menjawab. Namun hal ini hanya akan menjadikan keimanan kita terisolir dari ruang dan waktu di mana keimanan itu seharusnya tumbuh. Kedua, sikap semacam ini hanya akan menjadikan subjek beriman menjadi terisolir dan terasing dari ruang dan waktu tempat seharusnya ia mengejewantahkan imannya.
Keterasingan yang tumbuh di kalangan orang-orang yang beriman dapat menumbuhkan kesadaran neurosis di mana manusia beriman akan menemukan dirinya kebingungan, berada di tengah arus roda perubahan yang bergerak menuju wilayah kehidupan yang tidak ia kenal, bahkan merasa tersisih dari peradaban dunia. Karenanya neurosis ini dapat menjadikan manusia beriman gagap menghadapi kekinian sehingga tidak ada cara lain untuk melawan seluruh tantangan yang ada kecuali dengan menumbuhkan sikap ekslusif dan reaktif terhadap perubahan yang tidak terhindarkan. Efeknya, jika tindakan didasari kesadaran, maka modus kesadaran neurosis dalam beriman pun akan memunculkan modus neurusis dalam bertindak. Hal ini terbukti dengan begitu banyaknya ekstrimisme, tindakan terorisme dan kekerasan atas nama agama lainnya dapat dilakukan oleh manusia beriman, padahal kontradiktif dengan kepribadian personal mereka yang ramah secara individual dan dibina oleh nilai-nilai moralitas yang adiluhung. Karena kesadaran ini berbuah paradoks dan kontradiksi, maka kesadaran semacam ini dapat kita sebut kesadaran neurosis zaman.
Oleh karena itu, tantangan-tantangan terhadap keimanan dari ranah kontemporer ini menuntut kita untuk melakukan transformasi dalam modus respon yang diperlukan untuk menghadapi kebaruan-kebaruan tersebut yang juga mensyaratkan modus kesadaran yang tepat. Hal ini berarti keyakinan religius kita pun senantiasa dituntut kreatif dalam menempatkan diri secara bijak, tidak terbawa arus tanpa refleksi kritis terhadap perkembangan yang ada, namun juga tidak terbujur kaku menolak arus gerakan progresivitas zaman. Dengan kata lain, tidak ekstrim menerima segala yang muncul dalam perubahan yang terjadi dan larut begitu saja, namun tidak pula ekstrim menolak.
Perlu sikap ‘menunda,’ tidak tergesa-gesa untuk memahami, menafsirkan, dan merefleksikan keimanan kita agar dapat menjawab tantangan-tantangan dan arus perubahan zaman secara bijak. Lahirnya modus keimanan yang bijak akan berefek pada lahirnya modus respon dan konsekuensi sosio-budaya yang juga tepat. Karenanya untuk membuang karakter irasional respon kaum radikal kita perlu menyuguhkan strategi membangun mentalitas bijak, rasional, mendalam dalam keimanan. strategi yang paling menjanjikan dalam menumpas dan menghindari ekstrimisme dan radikalisme sebagai bentuk kegagapan menjawab pertanyaan akan tindakan apa yang seharusnya dilakukan sebagai orang beriman dalam dunia modern sekular dan bagaimana mengakomodasi tantangan-tantangan modern dalam horizon keimanan mereka.
Terdapat tuntutan untuk ‘memikirkan ulang’ persoalan-peroalan keimanan (problems of faith) demi memperkaya keyakinan religius kita dengan modus kesadaran yang mendalam dan filosofis sehingga memberikan cakrawala yang menjadikan keimanan semakin dapat berdiri kokoh tanpa merasa gagap dan tersisihkan dari dunia, namun justru dapat mengatasinya dengan bijak.
Terkait dengan upaya ini, Kanz Philosophia mengundang anda untuk mendiskusikan persoalan-persoalan tersebut demi menemukan jawaban-jawaban yang kritis dan mendalam. @Hadi K (Editor Jurnal Kanz Philosophia)
Narasumber :
Dr. (Romo) Setyo Wibowo ( STF Driyarkara)
Husein Heriyanto, M.Hum ( Fak. FIB- Universitas Indonesia)
Dr. Muhsin Labib ( ICAS-Jakarta)
Moderator : Hadi Kharisman, MA ( ICAS-Jakarta dan Editor Jurnal Kanz Philosophia)
Jumat, 26 April 2013
16.00 pm-selesaiAuditorium al-Musthafa ICAS-Jakarta
Info :
Sadra International Institute
Jati Padang Utara, Rt/Rw 013/002, No.13 Jakarta 12540
Phone : +62 21 78845651 Fax : +62 2178845248
www.sadra.or.ide-mail : info@sadra.or.id
Kritik pedas terhadap saintisme atau positivisme lainnya muncul dilontarkan oleh kaum eksistensialis, namun perlawanan ini tidak serta merta mengurangi tantangan bagi keyakinan religius melainkan memberikan bentuk tantangan baru bagi masalah keimanan terhadap Tuhan. Kaum eksistensialis, semisal Heideger dan Sartre, yang sangat concern dengan persoalan kemanusiaan pun mempertanyakan ketundukan kita pada agama sebagai sebuah bentuk objektifikasi diri, di mana subjek manusia bertindak bukakn atas dasar kehendak bebas dan kesadarannya sebagai subjek otonom, melainkan sebagai objek yang ditundukkan pada seperangkat keyakinan teologis tertentu mengatasi kesadaran khas miliknya sendiri. Karenanya, apa yang dia lakukan tidak lagi mencermikan kesadaran otentik dan kehendaknya melainkan demi merealisasikan sesuatu yang bersifat eksternal dari subjek. Manusia tidak lagi bebas otonom, menjadi tuan dalam berfikir dan bertindak, melainkan dikontrol oleh faktor eksternal, persis seperti kawanan domba. Keyakinan religius dalam sebagian kaum eksistensialisme seperti Heideger dan Sartre akhirnya dipandang sebagai salah satu sumber bencana yang membuat manusia semakin teralienasi.
Beberapa contoh di atas cukuplah memperlihatkan bahwa terjadinya transformasi yang pesat dalam beragam aspek kehidupan memberi kita sebuah latar situasi dan konteks yang dipenuhi tawaran-tawaran baru yang saling bersaing menantang religiusitas dan keimanan pada Tuhan. Tentu saja respon terhadap beragam tantangan-tantangan kontemporer terhadap masalah keimanan dan mempertahankan keimanan sudah menjadi tanggung jawab kita, sebagai penganut agama. Persoalannya, modus respon apa ditawarkan juga menentukan keberhasilan kita menjawab tantangan-tantang tersebut.
Salah satu modus respon yang mungkin banyak dilakukan agamawan untuk mempertahankan iman di masa kontemporer ini adalah dengan memagari keyakinan agama umat sehingga keyakinan tersebut begitu tertutup rapat dari pengaruh luar, bahkan dari sikap bertanya yang merefleksikan mentalitas rasional yang membangun diskursus modernitas, yang dinilai akan mengkoptasi kemurnian iman. Untuk itu, keyakinan religius yang diajarkan agama ditempatan sebagai dogma yang harus diterima tanpa analisis kritis. Mempertanyakan dogma dipandang sebagai sikap perlawanan (murtad).
Sikpa semacam ini tentu saja bukan respon yang tepat dengan beberapa alasan: pertama, modus reaksi dogmatis semacam ini adalah bentuk jawaban yang muncul dari ketidaktahuan dan ketidakmampuan menjawab. Namun hal ini hanya akan menjadikan keimanan kita terisolir dari ruang dan waktu di mana keimanan itu seharusnya tumbuh. Kedua, sikap semacam ini hanya akan menjadikan subjek beriman menjadi terisolir dan terasing dari ruang dan waktu tempat seharusnya ia mengejewantahkan imannya.
Keterasingan yang tumbuh di kalangan orang-orang yang beriman dapat menumbuhkan kesadaran neurosis di mana manusia beriman akan menemukan dirinya kebingungan, berada di tengah arus roda perubahan yang bergerak menuju wilayah kehidupan yang tidak ia kenal, bahkan merasa tersisih dari peradaban dunia. Karenanya neurosis ini dapat menjadikan manusia beriman gagap menghadapi kekinian sehingga tidak ada cara lain untuk melawan seluruh tantangan yang ada kecuali dengan menumbuhkan sikap ekslusif dan reaktif terhadap perubahan yang tidak terhindarkan. Efeknya, jika tindakan didasari kesadaran, maka modus kesadaran neurosis dalam beriman pun akan memunculkan modus neurusis dalam bertindak. Hal ini terbukti dengan begitu banyaknya ekstrimisme, tindakan terorisme dan kekerasan atas nama agama lainnya dapat dilakukan oleh manusia beriman, padahal kontradiktif dengan kepribadian personal mereka yang ramah secara individual dan dibina oleh nilai-nilai moralitas yang adiluhung. Karena kesadaran ini berbuah paradoks dan kontradiksi, maka kesadaran semacam ini dapat kita sebut kesadaran neurosis zaman.
Oleh karena itu, tantangan-tantangan terhadap keimanan dari ranah kontemporer ini menuntut kita untuk melakukan transformasi dalam modus respon yang diperlukan untuk menghadapi kebaruan-kebaruan tersebut yang juga mensyaratkan modus kesadaran yang tepat. Hal ini berarti keyakinan religius kita pun senantiasa dituntut kreatif dalam menempatkan diri secara bijak, tidak terbawa arus tanpa refleksi kritis terhadap perkembangan yang ada, namun juga tidak terbujur kaku menolak arus gerakan progresivitas zaman. Dengan kata lain, tidak ekstrim menerima segala yang muncul dalam perubahan yang terjadi dan larut begitu saja, namun tidak pula ekstrim menolak.
Perlu sikap ‘menunda,’ tidak tergesa-gesa untuk memahami, menafsirkan, dan merefleksikan keimanan kita agar dapat menjawab tantangan-tantangan dan arus perubahan zaman secara bijak. Lahirnya modus keimanan yang bijak akan berefek pada lahirnya modus respon dan konsekuensi sosio-budaya yang juga tepat. Karenanya untuk membuang karakter irasional respon kaum radikal kita perlu menyuguhkan strategi membangun mentalitas bijak, rasional, mendalam dalam keimanan. strategi yang paling menjanjikan dalam menumpas dan menghindari ekstrimisme dan radikalisme sebagai bentuk kegagapan menjawab pertanyaan akan tindakan apa yang seharusnya dilakukan sebagai orang beriman dalam dunia modern sekular dan bagaimana mengakomodasi tantangan-tantangan modern dalam horizon keimanan mereka.
Terdapat tuntutan untuk ‘memikirkan ulang’ persoalan-peroalan keimanan (problems of faith) demi memperkaya keyakinan religius kita dengan modus kesadaran yang mendalam dan filosofis sehingga memberikan cakrawala yang menjadikan keimanan semakin dapat berdiri kokoh tanpa merasa gagap dan tersisihkan dari dunia, namun justru dapat mengatasinya dengan bijak.
Terkait dengan upaya ini, Kanz Philosophia mengundang anda untuk mendiskusikan persoalan-persoalan tersebut demi menemukan jawaban-jawaban yang kritis dan mendalam. @Hadi K (Editor Jurnal Kanz Philosophia)
Narasumber :
Dr. (Romo) Setyo Wibowo ( STF Driyarkara)
Husein Heriyanto, M.Hum ( Fak. FIB- Universitas Indonesia)
Dr. Muhsin Labib ( ICAS-Jakarta)
Moderator : Hadi Kharisman, MA ( ICAS-Jakarta dan Editor Jurnal Kanz Philosophia)
Jumat, 26 April 2013
16.00 pm-selesaiAuditorium al-Musthafa ICAS-Jakarta
Info :
Sadra International Institute
Jati Padang Utara, Rt/Rw 013/002, No.13 Jakarta 12540
Phone : +62 21 78845651 Fax : +62 2178845248
www.sadra.or.ide-mail : info@sadra.or.id