Sadranews- Seminar Internasional bertema ‘Islam dan Negara Modern’ resmi dibuka pukul 08.00 WIB di Kampus UIN Alauddin Makassar. Acara bergengsi ini menghadirkan Prof. Dr. Hossein Mottaghi, Direktur Perwakilan Al Mustafa International University di Indonesia, yang memperkaya diskusi peserta mengenai hubungan Islam dengan negara modern.
Kedatangannya didampingi Prof. Dr. Kholid Al Walid, M.Ag dan Abdullah Beik, MA., menjadi magnet akademik, menarik perhatian para dosen, mahasiswa, hingga pimpinan fakultas yang memadati ruang seminar. Forum ini menjadi penanda hubungan intelektual yang kian erat antara Indonesia dan Iran melalui kerja sama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin dengan Al Mustafa International University.
Prof. Mottaghi memulai presentasinya dengan gaya tutur yang tenang, tetapi tajam dan terstruktur. Ia mengurai empat teori klasik hubungan Islam dan negara—mulai dari sekularisme total hingga teori Wilayah Faqih. Setelah itu, ia memperkenalkan teori kelima yang ia rumuskan sendiri: Pemerintahan Islam Nusantara, sebuah sintesis kreatif yang, menurutnya, hanya mungkin lahir dari pengalaman keislaman Indonesia.
“Indonesia adalah ruang di mana Islam tumbuh melalui dialog budaya, bukan konfrontasi teologis. Islam di negeri ini menjadi khazanah yang sangat kaya, sekaligus mendorong mahasiswa menelaah karya-karya Prof. Dr. Nasaruddin Umar untuk memahami kedalaman intelektual Islam Nusantara,” tegasnya di hadapan Rektor UIN Alauddin Makassar beserta jajaran pimpinan yang diterjemahkan oleh Abdulah Beik, MA., pada Kamis (11/12/2025).
Di bagian lain paparannya, Prof. Mottaghi mengajak peserta menengok kembali sejarah panjang Islam yang adaptif. Ia menyinggung keberhasilan Wali Songo mengislamkan Nusantara lewat pendekatan budaya yang lembut, yang membuat masyarakat Hindu–Buddha perlahan bertransformasi menjadi komunitas Muslim terbesar di dunia. Ia juga menolak tegas propaganda permusuhan antara Sunni dan Syiah, menekankan bahwa kedua mazhab memiliki lebih banyak titik temu daripada perbedaan. Sikap akademis ini membuat suasana diskusi berlangsung lebih dewasa dan objektif.
Seminar ini tak berhenti pada satu perspektif. Dua pemateri lainnya menambah kekayaan wawasan peserta: Prof. Dr. Kurniati, S.Ag., M.HI., membedah relasi Islam dan negara modern dalam konteks Indonesia, sementara Dr. Rahman Syamsuddin, S.H., M.H., menyuguhkan analisis kritis tentang hukum pidana kontemporer dan bagaimana ia terintegrasi dengan nilai-nilai Islam. Perpaduan perspektif Iran dan Indonesia menjadikan forum ini bukan sekadar kegiatan ilmiah, tetapi ruang perjumpaan pemikiran yang membuka horison baru bagi kajian Islam dan tata negara modern.
Hadir dalam seminar Ketua Prodi Dr. Akmal dan Sekretaris Jurusan Dr. Hisbullah. Dalam sambutan pembuka yang mewakili Rektor, disampaikan apresiasi mendalam kepada Prof. Mottaghi. Rektor berpesan agar mahasiswa memperluas cakrawala dunia. “Jangan mati sebelum melihat kutub-kutub peradaban,” ujarnya, mengingatkan bahwa peradaban Arab, Barat, China, Persia, hingga Romawi telah memberi warna besar dalam sejarah Islam.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum kemudian membuka seminar secara resmi. Ia menegaskan bahwa kehadiran Prof. Mottaghi memperluas ruang dialog tentang penerapan nilai Islam dalam negara modern. Indonesia, katanya, telah menerapkan prinsip-prinsip Islam bukan melalui simbol, tetapi lewat nilai keadilan, kemaslahatan, dan kesetaraan yang tertanam dalam dasar negara. Undang-Undang Perkawinan disebut sebagai contoh konkret integrasi nilai syariat dalam sistem hukum nasional.
Dengan rangkaian gagasan besar dan dialog lintas tradisi, seminar ini menutup hari dengan optimisme bahwa kajian Islam—khususnya dalam konteks negara modern—masih memiliki ruang luas untuk digali, diperdebatkan, dan dikembangkan.

