Seminar Internasional ” Merawat Toleransi Beragama” di Universitas Paramadina

Sadranews-Universitas Paramadina bekerjasama dengan Perwakilan Al Mustafa International University di Jakarta dan STAI Sadra serta didukung oleh Paramadina Graduate School of Islamic Studies dan Asosiasi Aqidah dan Filsafat Islam menggelar Acara Seminar Internasional hybrid berjudul “Merawat Toleransi Beragama” di Aula Firmanzah Universitas Paramadina, Selasa (13/6/2023) siang.

Dalam sambutannya Dr. Handi Risza Idris selaku Wakil Rektor Universitas Paramadina mengatakan bahwa semenjak lahirnya Universitas Paramadina yang didirikan Oleh Prof. Dr. Nurcholis Madjid ini mengusung nilai-nilai Islam yang moderat dan rahmatan lilalamin. Hal ini nampak dalam visi Universitas Paramadina yang hari ini tetap dipegang yaitu keislaman, modernitas dan keindonesiaan. “Tiga hal penting ini membuat Paramadina menjadi referensi bagaimana mengelola hubungan antara umat beragama dengan baik dan toleran serta mempunyai solusi dalam persoalan-persoalan kehidupan bangsa,” pungkasnya.

Sementara Ketua STAI Sadra yang juga Ketua AAFI Dr. Kholid Al Walid dalam sambutannya mengatakan sudah sejak lama mempunyai hubungan dengan Universitas Paramadina, sebab dulu di awal proses kerjasama pendirian ICAS dengan Paramadina selalu berhubungan dengan Prof. Nurcholis Madjid. “kita sama-sama memiliki tujuan untuk mengembangkan filsafat Islam di Indonesia. Semoga ke depan kerjasama dengan Paramadina semakin meningkat dan dapat sama-sama membangun peradaban Islam di Indoensia,” ujarnya.

Pada kesempatan ini, Prof. Dr. Hossein Mottagi dalam presentasinya menjelaskan sikap toleransi dan moderasi beragama dan membagi tiga kategori kelompok pemikir muslim. Pertama, kelompok modernis yang memandang agama harus relevan dengan kehidupan modern seperti pemikiran tokoh modernisme India Sayyid Ahmad Khan. Kedua, kelompok yang memandang Kehidupan modern harus sesuai dengan ajaran agama dan cenderung kembali kebelakang seperti kelompok Salafi. Ketiga, kelompok yang menginginkan kehidupan modern dengan solusi agama seperti pemikiran kedua tokoh Syahid Murtadha Muthahhari dan Prof. Dr. Nurcholish Madjid yang memandang agama sebagai solusi kehidupan modern.

“Sikap moderat dalam beragama dapat menjadikan para penganut agama menjalankan ajarannya dengan baik dan menciptakan kerukunan dalam kehidupan. Para kaum intelektual baru dalam beberapa tahun terakhir sengaja menghadirkan istilah moderatisme beragama sengaja sebagai solusi dalam menghadapi tuntutan kehidupan beragama saat ini. Agama Islam memandang pelaksanaan agama dan peraturan dunia ini harus sesuai dengan hukum Allah, sebab hukum Allah lebih baik dari hukum apapun,” papar Prof. Mottaghi.

Poin-poin penting terkait merawat toleransi beragam ini juga disampaikan oleh dua Guru Besar STF Driyarkara, Franz Magnis Suseno dan Universitas Paramadina, Prof. Dr. Abdul Hadi. Menurut Romo Magnis, keragaman agama bisa menjadi berkah sekaligus bencana. Kondisi toleransi dan komunikasi antar umat beragama di Indonesia sudah berjalan dengan baik. Hal ini mesti dirawat secara terus-menerus dengan menjaga pola komunikasi, seperti saling menghormati, saling berempati dan menempatkan agama sebagai rahmat. Pertemuan dan dialog Imam Besar Ahmed al Tayeb dengan Paus Fransiskus sebagai contoh terbaiknya.

Hal senada juga disampaikan Prof. Abdul Hadi bahwa pengalaman dan praktik-praktik toleransi telah mandarah daging dalam berbagai tradisi di nusantara. Sungguh pun perilaku-perilaku intoleran atau kekerasan terjadi, hal itu bukan disebabkan oleh ajaran agama, melainkan didorong oleh faktor politik. Sebagai contoh ekspansi kerajaan Mataram Islam ke kerajaan Madura yang notabene-nya sesama muslim. Identitas agama muncul sebagai gerakan radikal dan sebagai konsekuensi dan respon terhadap kolonialisme Belanda.

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top