STFI SADRA dan MPR RI Gelar Sosialisasi 4 Pilar

 

Sadranews. 07/05. STFI Sadra dan MPR RI gelar Sosialisasi 4 Pilar yang bertempat di Auditorium Al-Mustafa STFI Sadra. Dalam kesempatan ini, hadir Ketua STFI Sadra Dr. Kholid Al-Walid dan Prof. Dr. Bakhtiar Aly yang mnyampaikan sosialisasi 4 Pilar.

Dalam sambutannya, Dr. Kholid Al-Walid menegaskan, persoalan ekslusifisme dan anti-kebhinekaan memang seringkali muncul karena adanya luapan emosi keberagamaan umat yang begitu tinggi namun tidak disertai keutuhan dalam mempelajari sumber-sumber agama. Menururtnya, memandang sikap semacam ini menjadi salah satu sumber masalah sehingga sosialisasi 4 pilar, yang salah satunya adalah terkait kebhinekaan, menjadi salah satu yang sangat diharapkan untuk terus disemarakkan.

Sementara itu, Prof. Bakhtiar Aly menjelaskan bahwa di tengah-tengah semakin tajamnya pergolakan politik, terutama menyambut Pemilu Presiden 2019, yang membawa dampak kepada persoalan sosial bangsa Indonesia, merasa prihatin akan semakin menajamnya perpecahan di tengah-tengah masyarakat, termasuk di kalangan umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas. “Problem yang memprihatinkan adalah justru dalam umat Islam ini terjadi faksi-faksi. Faksi itu boleh secara internal, namun ketika itu sudah dieksploitasi untuk kepentingan politik, ya prihatin aja kita,” tegasnya di tengah kegiatan Sosialisasi 4 Pilar yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra bekerja sama dengan MPR RI.

Kondisi ini diperparah dengan munculnya banyaknya pihak yang mengemukakan opini-opini tanpa memiliki kualifikasi yang memadai. Akibatnya, masyarakat disimpang-siurkan dengan adanya informasi yang tidak utuh dan menyesatkan. “Republik kita ini, jadi kacau balau, karena banyak orang bicara tidak kompeten, bukan bidangnya. Pokoknya bicara aja. Efeknya bagaimana, kumaha engke (terserah nanti),” tegas Pakar Komunikasi yang merupakan mantan duta besar RI untuk Mesir dan telah menjadi penasihat ahli Kapolri selama 15 tahun ini. Dirinya menyesalkan bahwa bahkan tokoh-tokoh politik dari berbagai haluan yang berbeda pun seringkali melanggar etika komunikasi.

“Kita tidak berharap di sini terjadi clash sampai terjadi konflik horizontal, antara NU-MU, Sunni-Syiah, menurut saya diskusi semacam ini harusnya sudah selesai. Bahwa Islam itu Rahmatan lil ‘Alamin, maka konsep-konsepnya itu harus sudah bersifat universal, dan kita tenang-tenang saja (dalam menghadapi perbedaan)”, lanjutnya.

Sebagai prawacana pengantar diskusi mengenai Empat Pilar MPR RI ini, Istikomah, M.Hum, moderator sosialisasi, sambil merujuk pada pernyataan Prof. Bachtiar Aly dibeberapa kesempatan dalam forum yang sama, menyatakan bahwa sejatinya nilai-nilai Pancasila bersifat universal dan tanpa disadari nilai luhur Pancasila banyak dipraktekkan di beberapa Negara luar. Dalam konteks bernegara, masalah Pancasila sebagai ideologi sudah final.

Upaya mengubah Pancasila sebagai ideologi negara dari sebagian kalangan ekstrimis Muslim, tampak ahistoris, melupakan sejarah bahwa rumusan Pancasila sebagai ideologi Pancasila pun melibatkan tokoh-tokoh ulama, di samping mendiskusikannya dengan tokoh nasionalis lain. Demikian pula, penghilangan 7 kata dalam butir pada piagam Jakarta, yaitu “kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluknya” dan diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, pun tidak merugikan umat Islam itu sendiri, karena mengandung muatan tauhid yang merupakan asas keimanan dalam Islam. Tidak pula hal ini merugikan penganut agama lain. Karenanya, memahami Pancasila sebagai Ideologi Negara disamping UUD NRI 1945 sebagai konstitusi Negara, Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara dan NKRI sebagai bentuk Negara memerlukan pengetahuan dan informasi yang utuh, tidak parsial.

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top