Menyelami Hakikat Puasa: Deputi Perguruan Tinggi Al Mustafa Gelar Program Ngabuburit Filsafat Islam

Sadranews- Dalam rangka memetik hikmah dan memperoleh keberkahan di bulan suci Ramadhan 1446 H, Deputi Perguruan Tinggi Al Mustafa bekerja sama dengan STAI Sadra dan Asosiasi Aqidah dan Filsafat Islam (ASAFI) Indonesia menggelar program kajian filsafat Islam secara online bertajuk “Ngabuburit Filsafat Islam,” yang diselenggarakan sepanjang bulan Ramadhan.

Kajian “Ngabuburit Filsafat Islam” ini dilaksanakan setiap hari pada pukul 17.00-17.50 WIB, dan diikuti oleh dosen, mahasiswa, karyawan Yayasan Hikmat Al Mustafa, serta peserta umum melalui saluran Zoom. Program ini memberikan kesempatan bagi semua peserta untuk memperdalam wawasan tentang filsafat Islam dan hakikat puasa.

Kajian “Ngabuburit Filsafat Islam” yang masih berlangsung hingga kini menghadirkan narasumber-narasumber kompeten di bidangnya, baik dari dalam maupun luar STAI Sadra. Beberapa narasumber yang telah berkontribusi antara lain Dr. Kholid Al Walid, M.Ag. (Deputi Perguruan Tinggi Al-Mustafa dan Ketua ASAFI Indonesia periode 2022-2026), Abdullah Abdulkadir, M.A. (Ketua Hauzah Al Mustafa dan Kaprodi Aqidah dan Filsafat Islam STAI Sadra), Prof. Dr. Rd. Mulyadhi Kartanegara (Guru Besar Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah), serta Prof. Ai Fatimah Nur Fuad, MA., Ph.D (Guru Besar Studi Islam Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta)

Dalam pemaparannya, Dr. Kholid terkait tema filsafat puasa menyampaikan bahwa dalam hadis qudsi, Allah menjanjikan pahala berlipat ganda untuk setiap kebaikan, kecuali puasa. Puasa adalah ibadah khusus yang bersifat rahasia, dan Allah sendiri yang akan memberi ganjarannya.

“Hakikat puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga melatih jiwa serta mengendalikan indra lahir dan batin. Dengan memahami esensi puasa, seseorang dapat mengalami perubahan spiritual yang membawa dirinya ke tingkat kesempurnaan di sisi Allah,” terangnya dalam kajian Ngabuburit Filsafat Islam pada Minggu (2/3/2025) sore.

Pada Kamis (6/3) Prof. Mulyadhi menjelaskan bahwa puasa memiliki hubungan erat dengan filsafat, terutama dalam hal makna, tujuan, dan dampaknya pada diri manusia. Puasa bukan hanya sebagai cara untuk mengendalikan diri, tetapi juga sebagai sarana pendidikan moral dan pencarian kebijaksanaan. Keutamaan manusia tercapai ketika ia mampu mengendalikan hawa nafsu melalui akal. Hal ini sejalan dengan ajaran Aristoteles dan Plato tentang pentingnya moderasi dalam hidup, di mana keduanya menjalani kehidupan yang sederhana dan moderat untuk mencapai ketenangan batin.

Ia menambahkan, dalam kitab Ibnu Maskawaih, moderasi dijelaskan sebagai metode untuk mencapai kesempurnaan moral dengan menyeimbangkan daya-daya ekstrem yang saling bertentangan dalam diri manusia, seperti nafsu syahwat, amarah, dan mutmainah. Ibnu Maskawaih mengatakan bahwa akhlak manusia terbentuk melalui jalan tengah yang mengendalikan nafsu-nafsu tersebut. Nafsu amarah yang terkendali menghasilkan keberanian, sementara jiwa rasional yang seimbang menciptakan hikmah. Dengan terciptanya tiga keutamaan akhlak—kehormatan, keberanian, dan hikmah—maka keadilan dapat terwujud dalam diri manusia.

Abdullah Abdulkadir, MA., menjelaskan pandangan Ibnu Arabi tentang puasa sebagai ibadah yang memiliki perbedaan mendalam dibandingkan ibadah lainnya. Sementara ibadah lain mengajarkan untuk melakukan sesuatu, puasa justru mengajarkan untuk menahan diri, yaitu dengan melarang melakukan hal-hal yang membatalkan puasa di tingkat dasar. Pada tingkat yang lebih tinggi, puasa mengajarkan untuk menjauhi segala hal yang tidak diridhai Allah, dan pada tingkat tertinggi, puasa mengajak untuk mengosongkan diri dari selain Allah. Puasa menjadi perisai yang melindungi orang yang berpuasa dari murka Allah dan api neraka. Perisai itu buah dari ketakwaan yang diperoleh dengan berpuasa (tindakan menahan diri).

“Mematuhi larangan dengan menahan diri sering kali lebih sulit daripada melakukan sesuatu, terutama ketika kita sudah terbiasa melakukannya. Oleh karena itu, tindakan menahan diri demi mematuhi larangan memiliki kedudukan yang sangat penting. Begitu besar peran menahan diri, sehingga pahala yang telah diperoleh seseorang bisa berubah atau terhapus jika tidak dijaga dengan menahan diri dari hal-hal yang dilarang oleh Allah,” tegasnya saat mengisi kajian Ngabuburit Filsafat Islam, Sabtu (8/3/2025).

Pada Sabtu (15/3), Prof. Ai Fatimah membahas tema “Ramadhan dan Makna Hidup: Perspektif Buya Hamka,” yang menggambarkan cinta sebagai intisari dari kehidupan beragama. Buya Hamka mengajarkan bahwa puasa bukan hanya sekadar menahan lapar, tetapi juga sebagai latihan untuk membentuk keikhlasan, kesabaran, serta meningkatkan harapan dan kebahagiaan, terutama saat menghadapi ujian hidup. Selain memperdalam spiritualitas, puasa juga membantu membangun mindset positif, yang membuat seseorang lebih empati dan peduli terhadap sesama. Ramadhan, menurutnya, adalah pelatihan yang perlu diteruskan sepanjang tahun untuk menghadapi segala tantangan hidup dengan cara yang lebih baik.

Ia menambahkan, karena cinta merupakan inti dari segala hal, Allah menguji hamba-Nya dengan musibah atau keterpurukan untuk melihat sejauh mana kecintaan mereka kepada-Nya. Apakah cinta itu akan hilang, tetap sama, atau malah semakin meningkat. Sesungguhnya, bersama kesulitan pasti ada kemudahan bagi mereka yang berusaha dan aktif mencari jalan keluar, bukan yang pasif. Ramadhan menjadi momentum penting untuk mengubah mindset menjadi lebih positif serta untuk meningkatkan kecintaan dalam menjalani perintah Allah.

Semoga program yang baik ini dapat memperluas wawasan, memperkuat keimanan, meningkatkan ibadah, dan memberikan keberkahan serta manfaat yang besar bagi seluruh peserta.

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top