Menyingkap Wilayah: Membumikan Pemikiran Tasawuf Falsafi Ibnu Arabi di STAI Sadra

Sadranews Dalam rangka mengenalkan lebih dalam pemikiran irfan atau tasawuf Falsafi Ibnu Arabi, Deputi Perguruan Tinggi Al Mustafa bekerja sama dengan STAI Sadra menggelar seminar penutupan Short Course Madrasah Filsafat Ibnu Arabi secara hybrid pada Jumat (17/10/2025). Acara ini mengusung tema “Wilayah dalam Konteks Pemikiran Ibnu Arabi” dan berlangsung di Auditorium Al Mustafa, STAI Sadra, Jakarta.

Dimulai pukul 09.00 WIB, seminar ini dihadiri oleh karyawan, mahasiswa, dan dosen STAI Sadra. Dua narasumber utama turut hadir, yakni Dr. Haidar Bagir (Direktur Mizan Group) dan Dr. Abdelaziz Abbaci (Direktur Sadra International Institute), dengan moderator Wa Ode Zainab, Ph.D., Ketua PSP Sadra.

Dalam sambutannya, Prof. Dr. Hossein Mottaghi, Direktur Yayasan Hikmat Al Mustafa, menjelaskan bahwa pemikiran irfan atau tasawuf yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi menyimpan kedalaman filosofis yang belum banyak tergali oleh lembaga-lembaga pendidikan tinggi.

Ia memaparkan empat karakter utama yang membedakan tasawuf Ibnu Arabi dari pandangan tasawuf lainnya. Pertama, irfan Ibnu Arabi berpijak pada landasan filsafat, menjadikannya lebih dari sekadar pengalaman batin, tetapi juga sebagai wacana intelektual. Kedua, irfan diposisikan sebagai disiplin ilmu tersendiri, bukan hanya fenomena mistik yang bersifat praktikal. Ketiga, struktur keilmuannya dibangun setara dengan disiplin filsafat, menunjukkan kerangka metodologis yang sistematis. Dan keempat, Ibnu Arabi berhasil mengintegrasikan irfan teoritis dan praktis, menciptakan jembatan yang kokoh antara pengalaman spiritual dan pemikiran konseptual.

“Banyak gagasan filosofis yang tak lepas dari pengaruh mendalam pemikiran tasawuf Ibnu Arabi,” tegasnya.

Sementara itu, Dr. Haidar menjelaskan bahwa wilayah dalam pandangan Ibnu Arabi adalah realitas ruhani yang bersifat batin, tanpa hijab, jarak, atau waktu. Wilayah berkaitan erat dengan tajalli pertama, yaitu Nur Muhammad yang mempunyai dua dimensi hubungan antara ia  dengan Sang Khaliq dan ia dengan makhluk. Dalam ayat “Sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi)” (QS. An Najm: 9) Al Quran menggambarkan kedekatan yang luar biasa antara Allah dan Rasul-Nya (wali) bahkan lebih dekat dari dua busur panah.

“Wilayah adalah kedekatan mutlak dengan Tuhan di mana seorang wali berada dalam wilayah-Nya dan kehendak seorang wali tidak berbeda dari kehendak-Nya,” ujarnya. Ia juga menyoroti fenomena karamah para wali, yang kerap disampaikan secara terbuka kepada publik tanpa konteks yang memadai. Hal ini, menurutnya, sering menimbulkan kesalahpahaman. Padahal, karamah sejatinya berakar pada pengalaman spiritual yang mendalam. Sayangnya, makna tersebut kerap terdistorsi oleh tafsir populer yang dangkal dan tidak akurat.

Dr. Abbaci menambahkan bahwa wali adalah manusia yang berhasil mengaktualisasikan seluruh potensi dirinya hingga mencapai derajat wilayah. Semua manusia memiliki potensi ini, sebab misi penciptaan manusia sejatinya adalah untuk menjadi khalifah atau wali di muka bumi.

Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa wilayah membahas dua sisi Tuhan_lahir dan batin_dan peran insan kamil (manusia sempurna) menjadi sentral sebagai penghubung antara Tuhan dan alam semesta melalui prinsip sinkhiyah atau afinitas kosmis.

Pluralitas dalam ciptaan Tuhan, menurutnya, muncul dari manifestasi berbagai nama Allah. “Insan kamil menjaga keseimbangan di tengah kontradiksi seperti antara Jalal dan Jamal,” ungkapnya. Sosok ini penting karena manusia awam cenderung berjarak dari Tuhan, sehingga dibutuhkan insan kamil sebagai pembimbing.

Seminar ini menjadi penutup dari rangkaian Short Course Ibnu Arabi yang telah berlangsung sebanyak sebelas pertemuan. Program ini digagas oleh Deputi Perguruan Tinggi Al Mustafa, Dr. Kholid Al Walid, M.Ag., dan telah membahas berbagai tema krusial dalam ilmu tasawuf antara lain Al-Haqq sebagai wujud, Asma’ dan Sifat, Tajalli, Alam Misal, Insan Kamil, hingga A’yan Tsabitah.

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top