Sekolah Hikmah Muta’aliyah angkatan kedua kembali di gelar dan memasuki Sesi ke-9. Pembicaraan kali ini adalah mengenai teori kausalitas yang merupakan bagian atau tema terpenting dalam filsafat islam.
Pembicaraan mengenai teori kausalitas atau al-iliyat ini telah menjadi isu utama yang dibicarakan oleh al farabi, syekh isyraq, ibnu sina dan juga dalam filsafat Hikmah Muta’aliyah. Namun sekali lagi pembahasan teori kausalitas ini bukan hanya berasal dari islam, seperti halnya Enneads yang merupakan karya dari plotinus yang berbicara mengenai teori ini.
Teori kausalitas ini berasal dari kata al-illah (sebab) wa Ma’lul (akibat), hubungan antara keduanya disebut al-iliyat (Kausalitas). Pengetahuan mengenai adanya kausalitas ini setidaknya dapat diasumsikan sesungguhnya juga dipahami oleh orang awam. Secara eksternal kita menyaksikan banyak sekali bentuk (mawjudat) yang disadari oleh manusia memiliki kesaling-hubungan atau bahkan saling bergantung salah satu ke salah satu yang lain. Yang muncul dalam fikiran kita mengenai kesalinghubungan ini adalah konsepsi dasar mengenai kausalitas yang mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang bergantung dan ada sesuatu yang menjadi tempat bergantung.
Misalnya ketika kita menangkap objek kursi kita akan melihat dua keadaan yakni yang pertama kita menyaksikan adanya realitas (Wujud) kursi tersebut dan ada gagasan mengenai kursi tersebut yakni quiditasnya (Mahiya). Quiditas ini bergantung sesungguhnya kepada wujud. Quiditas dalam konteks Ke-Quiditasannya hanyalah potensialitas, namun potensialitas ini menjadi aktual ketika Wujud Hadir dalam quiditas tersebut.
Asumsi yang muncul dalam fikiran kita ketika menyaksikan sebuah kejadian adalah kejadian ini berasal dari sebab yang sempurna dan tidak ada penghalang yang membuat terjadinya sesuatu tersebut. Ada kaidah dalam filsafat bahwa “jika sesuatu itu belum sempurna untuk terjadi, maka tidak akan terjadi. Jika sesuatu telah sempurna untuk terjadi, maka ia dapat terjadi”. Sesuatu yang sempurna tersebut adalah sebab sempurna itu sendiri. Sebab sempurna ini adalah sebab Tunggal karena dirinya tidak membutuhkan sebab lain untuk memunculkannya kadang kala sebab ini disebut illat al-munhasrah, kemudian ada sebab yang bersifat plural yakni sebab yang memiliki keterkaitan dengan sebab yang lain. Sebab tunggal ini berbeda dengan sebab plural karena ia tidak terkomposisi, jika ia masih berkomposisi maka ia membutuhkan pada realitas lain yang menjadi sebab baginya. Ada juga pengertian mengenai sebab dekat dan sebab jauh, yakni tentang jarak realisasi sebuah sebab kepada akibatnya tanpa terhalangi oleh sebab lain yang lebih dekat.
Filsafat hikmah Muta’aliyah memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teori kausalitas ini dengan beberapa argumentasi. Yakni, pertama, bahwa hubungan antara sebab dan akibat adalah hubungan kebutuhan yang terus menerus dan bersifat dzati, bukan hanya pada saat kemunuculannya namun juga untuk keberlangsungan keberadaanya. Hubungan Sebab dengan akibat adalah seperti hubungan Wujud Rhabit dan Wujud Mustakil. Sebagaimana sifat terang yang ada dalam sebuah ruangan yang berasal dari sebab sebuah lampu, hubungan ini bersifat eksistensial (Wujudi), karena keberlangsungan cahaya lampu bergantung sepenuhnya pada sumber cahaya.
Pembagian mengenai hubungan sebab-akibat yang terpisah ini adalah terjadi diwilayah konsepsi, sedangkan dalam kejadiannya eksistensialnya kita tidak menemukan keterpisahan ini. Oleh karena itu kita tidak mungkin dapat mengasumsikan sebuah kejadian yang bersifat kebetulan (tanpa ada relasi sebab-akibat yang tentu tidak dapat cerna oleh akal) sekaligus kita juga tidak dapat mengakui bahwa adanya jarang antara sebab dengan akibatnya secara eksistensial.