Seminar Ketiga ” Pengalaman Religius dan Tantangan Zaman” Pekan Penelitian Sadra

Sadranews-Seri ketiga seminar filsafat agama dalam rangkaian kegiatan Pekan Penelitian Sadra tahun 2023 terkait Festival M. T. Misbah Yazdi dengan tema “Pengalaman Religius dan Tantangan Zaman” digelar pukul 13.50 WIB di Auditorium Al Mustafa, STAI Sadra Jakarta.

Dalam sambutannya Prof. Dr. Hossein Mottaghi meyampaikan terimakasih kepada seluruh hadirin, para dosen dan peneliti, khususnya kepada Dr. Haidar Bagir yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan pencerahan dalam seminar kali ini. Seminar yang mengusung pemikiran-pemikiran Ayatullah Misbah Yazdi ini merupakan kesempatan besar untuk mengkaji bidang-bidang keilmuan.

“Mengkaji tentang landasan pengetahuan agama dan pengalaman agama merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia sekarang ini. Sekarang kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap karya ilmiah dan warisan pengetahuan yang ditinggalkan oleh para pemikir besar Indonesia, terasa semakin besar. Semoga kita dapat mengambil manfaat dan hikmah dari kajian-kajian yang akan disampaikan oleh para pemateri,” tutur Prof. Mottaghi selaku Ketua Yayasan Hikmat Al Musatafa, Selasa (21/2/2023) siang.

Dalam kesempatan ini, Dr. Haidar Bagir meninjau kembali tentang pengalaman religius. Gambaran standar tentang penglaman religius itu berhubungan dengan Tuhan dan agama dengan definisi yang masih kurang menarik bagi manusia di zaman sekarang ini. Agama masih didefinisikan sebagai institusi yang memuat ritus dan jemaah. Terkadang agama juga didefinisikan seara ideologis dan memiliki unsur kekelompokan yang kental sehingga menjadi eksklusif. Pengalaman religius digambarkan sebagai sesuatu yang terkait dengan itu saja. Artinya yang bisa mengalami pengalaman religius hanya para penganut agama institusional yang sering kali ideologis. Misalnya generasi milenial kurang tertarik kepada cara melihat Tuhan dan agama seperti itu. Karena itu jangan heran kalau ada pemuda muslim yang menganggap dirinya sebagai muslim Hindu dan muslim Buda.

Hal ini dikarenakan cara melihat Tuhan, agama dan pengalaman religius dengan cara yang lama, yaitu hanya kelompok muslim yang punya konsep ketuhanan tertentu yang bisa mengalami pengalaman religius. Sekarang ini ada religiusitas tanpa Tuhan dan spiritualitas ateistik. Karena definisi Ateis bukan tidak bertuhan atau anti Tuhan tapi orang yang bertuhan dengan cara memahami Tuhan yang berbeda. Ada mistisisme tanpa Tuhan dan religiusitas tanpa Tuhan. Oleh karena itu, pemahaman tentang Islam bisa ditinjau kembali yang didalamnya daya tarik Tuhan, agama dan pengalaman religius itu bisa menjangkau manusia modern, anak-anak muda generasi milenial tanpa meninggalkan keyakinan tentang Tuhan, agama dan pengalaman religius sebagai sumber kebenaran puncak.

Ada tiga istilah yang mirip dan sering digunakan bergantian tapi sebenarnya punya makna berbeda yaitu pengalaman religius, pengalaman mistik dan pengalaman spiritual. Tiga istilah ini mempunyai ciri masing-masing. Pertama, pengalaman religius biasanya terkait dengan agama institusional, mislanya berhubungan dengan perasaan damai ketika membaca doa-doa, perasaan mendapatkan mukjizat ketika beribadah. Umunya itu berhubungan dengan praktik-praktik keberagamaan. Orang yang menjalankan agama akan mendapatkan perasaan damai dan mengalami pengalaman seperti mukjizat atau karomah. Misalnya dalam Katolik salah satu syarat seseorang diangkat menjadi Santo, Sin atau wali ketika dia mengalami mukjizat minimal tiga kali. Ini pengalaman religius yang melibatkan Tuhan dan praktik-praktik keagamaan. Kedua, Pengalaman mistis bersifat kontemplatif sedangkan pengalaman religuis pada umunya dipahami sebagai sesuatu yang mengandung barokah dari Tuhan. Kalau pengalaman mistis biasanya melibatkan kontemplasi yang bisa terkait Tuhan atau bisa juga tidak. Sedangkan ketiga, pengalaman spiritual berasal dari kata spirit yang tidak mesti difahami dari Tuhan, tapi perasaan menyatu dengan unsur-unsur alam yang lain. Perasaan itu menimbulkan kedamaian, ketentraman dan peneguhan. Dalam pengalaman spiritual ini tidak mesti kontemplatif dan tidak mesti ada hubungannya dengan agama.

Inilah bedanya pengalaman spiritual dengan pengalaman religius dan pengalaman mistis. Siapapun bisa mengalami pengalaman spiritual seperti  Jean Paul Sartre seorang Marksis yang tidak bertuhan tapi dalam novel pendeknya, ia bercerita tentang bagaimana sewaktu-waktu ia duduk di bawah pohon dan tiba-tiba alam semesat menjadi sesuatu yang misterius dan bercahaya. Dia mengalami pengalaman spiritual padahal seorang Marksis yang tak bertuhan. Pengalaman spiritual adalah semua pengalam luar biasa yang tidak mesti melibatkan satu kekuatan atau sumber transenden. Terkadang orang mengalami pengalaman religius dengan kesadaran yang diinduksi dengan berbagai macam cara. Seperti orang Jawa kebatinan yang tidak menjalankan praktik agama bisa mengalami pengalaman religius dengan puasa Muteh dan puasa Ngrowot.

Meninjau ulang pemahaman tentang Tuhan bahwa Tuhan difahami memiliki dua tabiat personal dan impersonal. Tuhan Personal yaitu ada sisi semacam pribadi meskipun Maha segalanya. Setiap orang berhubungan dengan pribadi Tuhan, pribadi bukan berarti privat tapi personal. Sebagian agama Semitik memahami Tuhan bersifat personal. Dahulu sebelum Paus yang sekarang mengatakan bahwa sumber intoleransi orang muslim adalah karena Tuhannya monoteistik dan personal. Mahdi Hairi Yazdi menjelaskan tauhid bukan dengan istilah monoteisme tapi monorealisme. Monoteisme mengandung kata Teos yang berarti Tuhan sebagai person. Dari sudut pandang tasawuf Tuhan itu realitas bukan person.

Pendekatan yang digunakan Mahdi Hairi Yazdi itu pendekatan Suhrawardi, Mulla Sadra dan Ibnu Arabi. monorealisme sebenarnya adalah Wahdatul Wujud, bisa wujud impersonal. Di agama non Semitik Tuhan lebih kuat dari sisi impersonalNya dan tidak ada personalNya. Di level Dzat atau Ghaibul Ghuyub  Tuhan itu impersonal, tidak ada personalNya. Sebenarnya, tauhid lebih tepat diartikan dengan monorealisme dimana di satu sisi impersonal dan di sisi lain personal. Ketika Tuhan bertajalli (menurunkan diriNya) saat itu sebagai personal, di tingkat Ahadiyah, di tingkat Wahidyah dan lainnya Tuhan itu ada dimana-mana. Karena itu menurut penjelasan Ibnu Arabi di saat orang menyembah batu dan lainnya sebetulnya dia hendak menyembah Allah sebab tidak ada manusia yang bisa lari dari Allah.

Kalau ada muslim menjadi muslim Hindu atau muslim Buda itu karena dia tidak mempercayai Tuhan yang marah-marah dan mengancam memasukkan ke dalam neraka sebagaimana yang disampaikan di khotbah Jumat. Tuhan menyebutkan diriNya sebagai Pembalas disebutkan satu kali dalam Al Quran, tetapi Tuhan menyebutkan diriNya sebagai Pemaaf ada di ratusan ayat. Sisi personal adalah cara Tuhan untuk dekat dengan manusia dan manusia dekat dengan Tuhan tapi pada DzatNya Tuhan itu impersonal.

Ketika kita membuka pemahaman kita tentang Tuhan, agama dan pengalaman agama seperti penjalasan di atas, maka tidak perlu orang muslim menjadi muslim Hindu atau muslim Buda dan tidak perlu menganggap pengalaman religius hanya untuk kelompok tertentu, karena ajaran kedamaian, kasih sayang dan Tuhan yang personal dan impersonal itu ada dalam Islam,” tegasnya.

Sementara itu, Dr. Kholid Al Walid menjelaskan ada tiga pembagian dalam pembahasannya, yaitu yang pertama adalah pengalaman spiritual. Pengalaman spiritual adalah proses atau perjalanan ruhaniah menuju keadaran. Kedua adalah pengalaman keagamaan seperti contoh kisah Ibnu Arabi pada usia sembilan tahun yang mengalami mati suri dan dalam mati suri tersebut dia menyaksikan lorong yang gelap dan berlari dalam keadaan kekhawatiran yang luar biasa. Kemudian dia menyaksikan cahaya di dalam lorong gelap tersebut. Semakin besar cahaya itu sehingga dia menyaksikan sosok indah dari cahaya tersebut lalu dia bertanya, “siapakah engkau?” lalu sosok cahaya itu menjawab, “aku adalah pelindungmu, aku adalah surat Yasin, kembalilah belum saatnya engkau berada di tempat ini”. Kemudian sosok cahaya itu memelukku dan mendorongku sampai aku terjaga dari kondisi komaku. Lalu aku menyaksikan ayahku sedang membaca surat Yasin di atas kepalaku.

Ketiga, pengalaman yang dianggap religius dan sebenarnya bukan religius tapi pengalaman religius palsu atau mukasyafah syaithaniyah. Orang yang mengalami pengalaman religius palsu biasanya akan mudah menceritakannya kepada orang lain. Sementara Ibnu Arabi sangat menentang pengalaman religius yang mudah diceritakan atau wali-wali yang menampilkan kegaiban-kegaiban karena itu bagian dari cinta kedudukan. Pengalaman keberagamaan bisa terjadi kepada siapa saja tapi pengalaman ruhaniah itu butuh proses pensucian jiwa dan tidak mudah mendapatkannya.

Dengan membersihkan hati dan menjaganya maka tabir-tabir kegaiban akan tersingkap baginya sebagaimana tersingkapnya tabir-tabir bagi para wali Allah. Penyaksian kejadian itu terkadang melalui mimpi sebagaimana yang penyaksian yang terjadi pada para wali Allah atau para Nabi seperti Nabi Ibrahim yang dalam mimpi diperintahkan untuk menyembeiih putranya dan Nabi Yusuf yang dalam mimpi menyaksikan sebelas bintang, rembulan dan matahari sujud kepadanya. Proses penyaksian ini dalam ilmu tasawuf atau irfan disebut dengan mukasyafah yaitu terangkatnya hijab atau dihasilkannya forma yang bersumber dari alam misal melalui indra-indra batin manusia.

“Karena sulitnya proses mendapatkan pengalaman ruhaniah, banyak orang salah memahami dan menganggap keajaiban-keajaiban yang dia dapatkan sebagai pengalaman ruhaniah. Seperti banyak pengalaman yang dianggap ruhaniah dan digunakan untuk kepentingan duniawi, sebagaimana yang dilakukan para dukun atau peramal. Beda halnya dengan pengalaman batin atau ruhaniah yang benar itu selalu diawali dengan pensucian jiwa,” tandasnya.

Di akhir seminar ini setelah sesi tanya jawab, penghargaan dan hadiah diberikan kepada para mahasiswa/i dengan skripsi dan tesis terbaik, juga kepada pemenang lomba karya ilmiah dan para mahasiswa/i yang telah menyampaikan pertanya-pertanyaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top