Sadranews-Masih dalam momen Pekan Penelitian Sadra tahun 2023 dan dalam rangka menggali pemikiran-pemikiran Ayatullah Misbah Yazdi untuk menjawab persoalan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini, seminar nasional kedua digelar pukul 13.30 WIB di Auditorium Al Mustafa STAI Sadra Jakarta.
Acara yang berjudul “Spiritualitas dan Generasi Milenial” tersebut diselenggarakan oleh Sadra International Institute (SII) Jakarta pada Jumat (17/2/2023) siang. Turut hadir dalam seminar ini Dr. M. Subhi Ibrahim dan Basrir Hamdani, Ph.D yang sekaligus sebagai pembicara dengan moderator Wahyu Hidayat, Lc. M. Ag.
Basrir Hamdani, Ph.D sebagai pembicara pertama menjelaskan bagaimana posisi spiritualitas di era milenial ini apakah menjadi tantangan atau peluang? Spiritualitas adalah energi batin yang bersifat ruhaniah atau keilahiahan yang di dalamnya terdapat nilai-nilai moral dan agama. Seorang pemikir Barat membagi spiritualitas ke dalam tiga bagian. Pertama, spiritualitas yang berorinetasi pada Tuhan. Kedua, spiritualitas yang berorientasi pada dunia. Ketiga, spiritualitas humanistik. Sedangkan generasi milenial disebut juga dengan generasi Y menurut klasifikasi generasi oleh para ahli Barat. Ciri dari generasi milenial adalah bahwa internet sudah menjadi esensi bagi mereka yang tidak bisa tidak harus berinernet dalam keseharian. Disebut milenial karena generasi tersebut mengalami perkembangan teknologi dan pergantian tahun melenium.
Dari kelahiran tahun 1960 ke 1980 disebut generasi X. Kemudia generasi Y dari 1980 ke 1995. Selanjutnya, dari 1995 ke 2010 disebut generasi Z. Terakhir dari 2010 ke tahun seterusnya disebut generasi Alfa. Dari generasi X hingga Alfa hampir sama karakteristinya dari sisi pemanfaatan teknologi dan sains. Generasi milenial sangat dipengaruhi oleh perkembangan dan penggunaan teknologi. Bahkan mereka sangat fanatik dalam penggunaannya. Sehingga muncul diktum berbunyi “Aku online maka aku ada” dan sudah mengalahkan diktum Rene Descartes “Aku berfikir maka aku ada”. Mereka juga sangat narsis yang bahkan menampilkan poto diri mereka dalam kondisi yang sebenarnya tidak layak ditampilkan. Namun, di sisi lain hal posistif dari mereka adalah sangat kritis, mobilitas tinggi dan inovatif. Mereka selalu menginginkan hal yang serba instan dan cepat.
“Tantangan spiritualitas bagi kaum milenial adalah rentan terpapar dengan cara pandang post truth. Mereka mempertimbangkan hal-hal yang berasal dari Sosmed berdasarkan emosional bukan kebenaran objektif. Mereka memiliki kecendrungan terhadap hal-hal instan di ranah spiritual baik yang humanistik maupun spiritual yang keilahiahan. Seperti fenomena ‘hijrah’ yang tidak didasari pengetahuan yang memadai dan kesadaran yang dengan sekedar melihat satu atau dua konten religius sudah merasa paling Islami dan merasa cukup dengan konten-konten Medsos tersebut. Tentu saja, ada peluang spiritualiats yang dapat diciptakan di era milenial yang disebut spiritualitas digital. Yaitu mengembangkan aktivitas-aktivitas keruhaniahan dan religiusitas dalam ruang-ruang digital,” jelasnya.
Sementara itu Dr. M. Subhi Ibrahim sebagai pembicara kedua menyampaikan bahayanya generasi sekarang adalah setiap orang menciptakan dunia gadgetnya sendiri. Ada tiga dimensi fisik, psikologi dan spiritual dalam diri manusia. Manusia sudah bersifat spiritual dan tidak perlu mencari-cari spiritual di tempat lain. Ada kasus orang yang mencari spiritual di tempat lain atau menganggap seseorang sebagai guru spiritual akan terjebak dalam kekeliruan anggapan bahwa guru spiritual merupakan represanti Tuhan karena itu ketika ingin menyatu dengan Tuhan maka harus bersatu dengan guru spiritual. Akibat doktrin keliru yang menganggap guru spiritual sebagai representasi Tuhan, banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan dilakukan dengan memanfaatkan kesempatan yang ujung-ujungnya adalah uang dan kepuasan nafsu. Jadi, spiritualitas itu sebenarnya sudah ada dalam diri manusia hanya saja terkadang tertutupi atau tenggelam dalam aktivitas-aktivitas duniawi.
Benda atau harta yang sudah dianggap bagian dari diri seseorang akan berpengaruh pada kebahagiaan dan kegelisahannya tatkala mengalami penambahan atau pengurangan. Di saat benda atau harta tersebut hilang maka kebahagiaan juga akan ikut hilang. Sampai-sampai ketika handphone seseorang tertinggal di rumah, seolah-olah jiwanya yang tertinggal. Menurut filosof Perenialis ketergantungan terhadap benda-benda akan menghilangkan jati diri seseorang dan keruhaniahannya. Salah satu filosofis waktu sholat yang terpisah adalah untuk mengembalikan manusia kepada spiritualitas atau tingkat keruhaniahannya. Karena bisa jadi ketika seseorang selesai dari sholat subuh menyadari dirinya dan spiritualnya. Namun, setelah melakukan aktivitas duniawi atau terjadi masalah dengannya, dia melupakan jati dirinya dan keruhaniahannya akibat emosi misalnya. Kemudia ketika datang kembali waktu sholat Zuhur, mengingatkan kembali kepada jati diri dan spiritualitasnya sehingga hilang emosinya.
“Ini lah hikmah sholat yang akan selalu mengingatkan manusia dari keterlenaan dalam hal-hal duniawi. Khususnya mengingatkan kaum milenial yang memiliki ciri mudah lupa. Agar generasi milenial menjadi sehat dan terjaga spiritualitasnya, mereka harus sering menengok batin mereka. Sebagaimana ketika lapar orang harus makan, batin pun demikian, ketika batin yang lapar maka harus mendapatkan asupan ruhaniah juga. Hidup secara spiritual pada dasarnya hidup secara berkesadaran. Intinya dalam hidup ini kesadaran harus dijaga dan waspada supaya selamat sebagaimana disebutkan “Eling Lan Waspodo” dalam filsafat Jawa Ronggo Warsito,” terangnya.