PMIAI-ICAS-UP & STFI SADRA JAKARTA, 13/12/2013 bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra Kembali mengadakan Seminar Nasional Filsafat Islam Dan Tasawuf yang kali ini membahas Kitab Fusus Al Hikam yang merupakan Magnum Opus tokoh tasawuf dunia Ibnu Arobi. Hadir sebagai narasumber kali ini adalah Peneliti dan praktisi Filsafat dan tasawuf yang tidak asing lagi di dunia akademis yakni Prof. Kautsar Azhari Noer. Bertindak sebagai moderator kali ini adalah Kepala bidang Akademik Ir. Ahmad Jubaili.
Prof. Kautsar Azhari Noer menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan tema-tema inti Hikmah Muta’aliyah diantaranya adalah :
Menurut pengakuan Ibnu arabi, kitab fusus Al- Hikam merupakan pemberian Nabi Muhammad saw kepadanya melalui mimpi. Dalam mimpi tersebut Nabi Muhammad saw mengatakan ini kitab fusus Al Hikam , ambil dan sebarkan kepada umat manusia agar mereka mengambil manfaat. Dalam pengakuannya juga, Ibnu Arabi tidak pernah menulis yang mempunyai suatu maksud yang tertata, sebagaimana penulis-penulis lainnya pada umumnya. Penulisannya berdasarkan kilatan cahaya dari Ilahi yang telah mendekatinya.Kalau karyanya dengan jelas menunjukkan suatu komposisi, hal ini sesuatu yang tidak sengaja. Dengan ilham Ilahi dan pengalaman ini, keyakinan Ibnu Arabi kepada Allah swt semakin bertambah mantap. Dengan melihat tamsil atau gambaran yang dituliskan Ibnu Arabi dalam kitab fusus Al hikam sebagai bentuk bangunan pandangan Ibnu Arabi tentang wahdatul wujud atau manunggaling kawulo gusti. Banyak juga yang menilai bahwa Ibnu Arabi sebenarnya sedang membangun pandangannya dengan mengambil/meminjam perangkat-perangkat agama yang sudah mapan.
Dengan pandangannya itu sudah menjadi ciri khas Ibnu arabi di hampir semua karyanya selalu menampilkan gagasan keagamaan yang tidak lazim. Karenanya, selama perjalanan hidupnya sering kali Ibnu Arabi mendapat perlawanan dan kecaman dari berbagai kalangan, terutama kelompok kaum fuqaha dan ahli hadist yang terkenal literalis dan formalis, ini disebabkan karena teori tentang wahdatul wujud yang dianggap condong pada panteisme. Phanteisme ialah kepercayaan bahwwa Tuhan menjelma dimana-mana, bahwa segala yang wujud di alam ini adalah perwujudannya .Sedangkan manunggaling kawula gusti secara literal berarti menyatu Hamba dan Tuhan. Ungkapan-ungkapan yang pernah dikeluarkan oleh Ibnu Arabi beralasan, letak perbedaannya hanya terletak pada penafsiran dengan orang-orang yang menentangnya, contohnya:
Dalam kitab Futuhat Al- Makkiyah ketika ia menguraikan isi kandungan ayat Al-Mujaadilah ayat 7:
Tidakkah kamu perhatikan ,bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang dilangit dan di bumi?
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang ,melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada(pembicaraan antara)lima orang, melainkan Dialah keenamnya.dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada.
Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(Qs. Al-Mujaadilah, 58:7).
Ibnu Arabi, seorang pembaca yang cermat, dapat dengan mudah menangkap bahwa maksud ungkapan “wa la adna min dzalika” adalah dua orang, sedangkan “wa la aktsara” berarti tujuh orang atau lebih. Ibnu Arabi kemudian mengajukan pertanyaan :
Pertama,Kenapa di ayat tersebut dikatakan, jika ada tiga individu maka Allah adalah yang keempatnya, dan jika ada lima maka Allah yang keenam? Kedua,Kenapa bukan, Jika ada empat maka dia kelimanya, ataupun jika ada enam maka Dia ketujuhnya? Jawabannya(lanjutnya) Ibnu Arabi: adalah karena Allah hendak menegaskan keesaan-Nya (annahu yuridu al-ifrad(, bahwa Dialah yang berdiri sendiri, yang wujudnya diperlukan namun tidak memerlukan yang lain. Dalam setiap jumlah tersebut Allah menjadi penggenap akan tetapi tidak termasuk didalamnya (yasyfa’uha (ya’ni an-najwa)bima laysa minha). Dengan begitu Tambah Ibnu Arabi, Allah juga menunjukkan status keberadaanNya. Maksudnya, tak seorangpun dapat berdiri sendiri melainkan dengan wujudnya, digenapkan oleh Al Haq, karena ketunggalan Nya dan Ke EsaanNya semata. Hatta la takuna Al-ahadiyatu illa lahu yang artinya:sehingga tidak ada keesaan kecuali bagiNya. Oleh karena mahluk mustahil dapat menggenapkan Nya, tetapi sebaliknya Dia yang menggenapkan mahluk, firman Allah ta’ala: Wahuwa ma’akum aina maa kunntum Ibnu Arabi kemudian mengajukan pertanyaan lagi, mengapa bukan sebaliknya? Mengapa Allah tidak mengatakan :wa antum ma’a Hu aynamakana(dan kalian bersama Nya dimana saja Dia berada)? Jawabannya(lanjutnya) Ibnu Arabi: karena mustahil bagi mahluk dapat kita(fa-ya’lamu subhanahu kayfa yash-habuna wa la na’rifu kayfa nash – habuHu). Dasar pernyataan Ibnu Arabi juga ada.Singkatnya, tafsir dari surah Al-Hadiid ayat 4, menurut Ibnu Arabi ialah: Kebesertaan hanya mungkin bagi Nya, tetapi mustahil bagi kita(fa Al-ma’iyyah lahu tsabitah fina, manfiyyah ‘anna fihi). Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa:Kemudian Dia bersemayam di atas arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari padanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada Nya. Dan Dia bersam kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah MahaMelihat apa yang kamu kerjakan(QS.Al-Hadiid,57:4).