Pra-Konfrensi Pertama IC-Thusi 2018

WhatsApp Image 2017-06-08 at 14.55.38 (2)
Sadra-News 09/06 Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra menjadi Tuan Rumah Pra-Konfrensi IC-Thusi kali ini. Hadir sebagai pembicara KH. Masdar Mas’udi Farid dari PBNU, Dr. Abdul Mu’ti dari PP Muhammadiyah, Dr. Muhsin Labib yang juga merupakan Dosen STFI Sadra yang kali ini mewakili Moderate Institute, dan Dr. Muhammad Javad Asadi dari Universitas Internasional Al Mustafa. Tema yang dibicarakan dalam Pra-Konfrensi ini adalah “Mencari Harmoni dari Identitas ganda antara kebangsaan dan keumatan dalam negara bangsa modern dikalangan Muslim” .

IMG_8653 Dalam sesinya KH, Masdar Farid Mas’udi menyatakan, indonesia adalah negara yang kaya dengan kebinekaan, mulai dari kebinekaan geografis, kebinekaan agama, dan sebagainya, namun kita masih bisa bertemu sebagai sebuah keluarga bangsa yang di ikat oleh pancasila. Nilai-nilai pancasila adalah nilai yang selaras dengan wahyu samawi. Ketuhanan yang maha Esa adalah Tauhid itu sendiri, Kemanusiaan adalah nilai yang juga disampaikan oleh al Quran, “sungguh telah kami muliakan Bani adam”, persatuan adalah ukhuwah itu sendiri dan banyak lagi nilai-nilai pancasila yang selaras dengan Al Quran.

Selanjutnya Dr. Abdul Mu’ti, menjelaskan bahwa Fundamentalisme agama bukanlah gejala yang baru. Gejala ini muncul tepat setelah wafat rosululloh. Perdebatan-perdebatan teologis . Perdebatan-perdebatan ini memunculkan beragam kelompok dalam islam dan yang paling keras pendapatnya dalam pemurnian agama disebut fundamentalisme. Di masa post-Kolonial fundamentalisme juga muncul sebagai reaksi dari upaya sistematis sekulerisasi dan liberalisme dalam menyisihkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekulerisasi muncul dalam bentuk pengabaian atau bahkan tindakan meremehkan simbol-simbol agama yang tak jarang dapat ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap agama. Fundamentalisme adalah sebuah kondisi yang peluangnya dimiliki oleh bukan hanya untuk agama tertentu namun juga oleh seluruh agama. Fundamentalisme akan berakhir buruk jika para penganut agama kurang memiliki kecerdasan dalam memahami identitas keberagamaannya dalam hubungannya dengan identitas kebangsaan dan kenegaraanya.

Adapun Dr. Muhsin labib, menkankan bahwa domain agama dan negara yang jelas-jelas berbeda menunjukkan adanya harmoni. Harmoni muncul karena adanya dualitas. Terutama dalam konteks masyarakat yang majemuk, batas antara agama dan negara harus jelas. Harmoni bermakna sesuatu yang berpasangan, maka agama dan negara dapat dikatakan hadir untuk saling menyempurnakan. Dapat dikatakan bahwa penolakan terhadap identitas kebangsaan yang menggunakan klaim-klaim agama sesungguhnya malah dapat dikatakan anti-agama karena agama sendiri mengakui adanya identitas-identitas kebangsaan. Ada wilayah Iman yang bersifat abstrak yang ruangnya adalah privat dan ada wilayah amal yang ruangnya adalah kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara. Kedua hal ini harus berjalan secara harmoni. Harmoni berarti tidak saling mendominasi, karnanya harus jelas batas antara peran agama dan negara yang diatur oleh konstitusi yang merupakan manifestasi dari keterlibatan publik untuk memilih sejauhmana keterliabatan kedua hal tersebut dalam kehidupan privasi maupun publik.

Sekaitan dengan Pancasila Dr. Ammar Fauzi, menguraikan bahwa Pernyataan tentang pancasila adalah sangat islami, kalau kita bilang sangat islami ada yang lebih islami ada yang hanya islami dan ada yang sangat islami. Mungkin kita bisa sensitif dengan diksi ini, tapi kita perlu membuat orang cepat faham dengan diksi-diksi yang kita gunakan. Kita harus memahami dari mana Pancasila ini brasal, apakah berasal dari agama atau berasal dari jati diri manusia yang melampaui agama. Saya sepakat seperti yang disampaikan Dr. Muhsin labib bahwa sila pertama “Ketuhanan” bukan berasal dari agama, tapi melampui dari agama yakni iman itu sendiri. Sebab banyak agama-agama lokal yang tidak memiliki konsep tentang Tuhan. Ini yang perlu kita fahami. Perlu saya kira satu format bahwa kehidupan berbangsa dan beragama. Prinsip dasar dari suatu berbangsa dan bernegara adalah tentang mengelola kehidupan manusia yang karenanya wajar kalau kita dapat meluaskan jangkaunya hinga kehidupan manusia pasca kematian (akherat), karenanya kehidupan berbangsa dan bernegara harus mencakup tentang tujuan bersama umat manusia hingga kematian. Oleh karena itu baik kiranya kita fikirkan bahwa kita meluaskan pemahaman kita tentang pancasila ini.

Disesi terakhir Dr. Muhammad Javad Asadi menyempatkan memberi tambahan bahwa, Barat telah menikmati sistem riba atau pun gaya hidup yang bertentangan dengan tata moral dan fiqh islam yang diikuti oleh sebagian besar bangsa indonesia. Semua bentuk pendidikan di barat atau pola hidup barat tidak dapat diadaptasi oleh bangsa indonesia yang memiliki nilai-nilai lokal yang luhur. Nilai-nilai luhur inilah yang patut untuk dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa indonesia.

Hadir dalam Pra Konferensi ini, para Mahasiswa, Dosen, staf serta para akademisi dari berbagai latar belakang.

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top