Seminar Ilmiah “Sejarah Ghadir khum Dalam Pandangan Ahlul Hadis” STAI Sadra

Sadranews-STAI Sadra menggelar acara seminar ilmiah dalam rangka memperingati Hari Idul Ghadir dengan tema “Sejarah Ghadir khum Dalam Pandangan Ahlul Hadis” di Auditorium Al Mustafa, Jumat (7/7/2023) pagi.

Acara yang dibuka pukul 9.30 WIB tersebut diawali dengan pembacaan kalam ilahi oleh Ikram Muzadi dan dimoderatori oleh Nano Warno, Ph.D serta diiukti oleh para dosen, mahasiswa dan karyawan Yayasan Hikmat Al Mustafa.

Dalam sambutannya, Dr. Kholid Al Walid selaku Ketua STAI Sadra mengatakan bahwa peristiwa al Ghadir adalah peristiwa penting sejarah yang menjadi penyempurna risalah Nabi Muhammad saw dan sayangnya peristiwa ini jarang diperingati secara umum. Hari dimana seluruh risalah yang dibawa beliau mencapai puncak dan kesempurnaannya. Peristiwa itu terjadi di sebuah tempat antara Mekah dan Madinah bernama Ghadir Khum yaitu peristiwa yang memperkenalkan kepemimpinan berdasarkan perintah Allah berupa pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai washi Nabi saw.

Bila dunia saat itu berada dalam kepemimpinan ilahi ini maka akan berada dalam kebaikan dan diantar menuju puncak kesempurnaan. Sayangnya sekarang ini dunia berada dalam titik nadir dimana puncak dari kemajuan pengetahuan dan penemuan sains dan teknologi diarahkan dalam perlombaan perang dan diarahkan dalam rupa alat-alat perang dan senjata-senjata pemusnah massal yang tidak lain hanya akan menghancurkan kemanusiaan itu sendiri bukan mengangkat derajat manusia. “Imam Khomeini berkata, “Aku merindukan suatau masa dimana alat-alat perang yang super canggih berubah menjadi pena, tinta dan kerta yang dapat menghargai kemanusiaan dan mengangkat derajat manusia hingga puncak kesempurnaan,” ujarnya.

Sementara itu Dr. Alwi Bin Husein, MA. Hum menjelaskan terkait peristiwa al Ghadir ini bahwa setelah sekian lama berdakwah dengan susah payah dan tiba lah di detik-detik akhir hayat beliau, tentu saja beliau tidak akan meninggalkan umat begitu saja. Beliau harus menunjuk seorang yang layak sebagai penerus tugas beliau. Dalam sejarah Nabi Muhammad saw pernah berkhotbah di Ghadir Khum seusai melaksanakan haji wada`. Ahmad al Usairy dalam kitab “Perjalanan Hidup Rasulullah saw” menyebutkan bahwa Rasulullah saw bersama seratus ribu, ada yang mengatakan seratus dua puluh ribu atau seratus empat puluh ribu sahabat.

Di Ghadir Khum itu, beliau menunggu orang-orang yang belum sampai dan memanggil orang-orang yang sudah lewat untuk menyampaikan pesan yang sangat penting. Dalam khotbah al Ghadir yang dimuat dalam kitab-kitab Ahlisunnah beliau mengatakan, “Barang siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka Ali juga sebagai pemimpinnya”. Ada kelompok-kelompok yang memandang satu hadis dengan membiaskan maknanya dulu sebelum menolaknya. Pertama mereka tanpa kajian menganggap lemah hadis Ghadir tersebut. Setelah terbukti sahih, mereka mempermasalahkan sanadnya. Setelah dibuka sanadnya bagus, mereka membiaskan maknanya.

Sementara hadis Ghadir ini adalah mutawatir dan banyak dimuat dalam kitab-kitab hadis ternama Ahlisunnah, sehingga tidak ada celah lagi untuk dianggap sebagai hadis lemah. Bayangkan begitu pentingnya pesan yang hendak disampaikan sehingga harus mengumpulkan begitu banyak orang di tengah kondisi teriknya matahari dengan menanti yang belum datang dan memanggil yang telah lewat, apakah hanya untuk menyampaikan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah sahabatku, pembelaku atau kekasihku saja, atau terkait pembagian pakaian bekas dan tunggangan yang dinaiki kelompok-kelompok yang tidak mengenal Ali bin Abi Thalib.

Ketika Rasulullah saw menyebutkan dirinya sebagai wali orang-orang mukmin, wali di sini bukan kekasih. Ketika disebutkan Allah walinya orang-orang mukmin, wali di sini juga bkn bermakna kekasih. Ketika Khalifah Abu Bakar menyebutkan dirinya wali orang-orang mukmin kenapa wali di sini bermakna khalifah. Tentu hal ini sangat tidak logis dan yang logis adalah bahwa Rasulullah saw melalui hadis Ghadir tersebut hendak menyampaikan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pengganti dan penerus tugas beliau sebagai seorang imam di tengah umat. “Ibnu Taimiyah menganggap lemah hadis ‘Man Kuntu Maulah..’ dan menganggap palsu ‘Allahuma Wali Man Walah…’ sehingga al Albani heran dan mengatakan, “ Guru kami tergesa-gesa dalam memandang hadis tersebut karena tidak mempelajari thuruqul hadis,” jelasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Dr. Safakhah bahwa risalah Allah diturunkan melalui berbagai nabi dan  risalah yang sempurna itu dibawa dan disampaikan oleh Rasulullah saw kepada umatnya. Ada seratus dua puluh empat ribu nabi yang diutus Allah untuk menyampaikan risalah dan risalah tersebut disempurnakan oleh Rasulullah yang bertugas selama 40 tahun dalam menyampaikannya kepada umat. Ada lebih dari dua ratus tujuh puluh empat ahli hadis Sunni maupun Syiah menyebutkan peristiwa al Ghadir bahwa Rasulullah menyampaikan perintah Allah berupa deklarasi kepemimpinan Ali bin Abi thalib dalam kitab-kitab mereka.

Hadis al Ghadir oleh ahli hadis ditulis dan dimuat dalam banyak kitab Sunni dan Syiah, antara lain kitab Tarikh Demesyk juz 2 halaman 541 menukil hadis dari Huzaifah, Tarikhul Islam karya Suyuthi, halaman 332, Kanzul Ummal jilid 1 halaman 188, al Bidayah wa al Nihayah juz 7 halaman 416, riwayat hadis dari Zayd bin Arqam, Mujamul Kabir, jilid 5 halaman 192, dan kitab khotib al Baghdadi juz 4. Poin pentingnya adalah ada sekitar dua ratus sahabat yang mendengar peristiwa al Ghadir. Dalam kitab Syiah seperti Raudhatul Waidhin ditulis pada abad 5, al Ihtijaj al Thabarsi ditulis pada abad 5, al Yaqin ditulis pada abad 7, Iqbal karya Ibnu Thawus abad 7, Nahjul Iman abad 7 dan al Ghadir karya Allamah Amini abad 13. Para ahli hadis Sunni dan Syiah sepakat bahwa hadis al Ghadir adalah sahih dan hasan dan wajib diamalkan.

“Tiga hal penting dalam khotbah al Ghadir adalah pertama, sepanjang hidup Nabi Muhammad saw tidak pernah menyuruh orang-orang untuk berkumpul ketika hendak berkotbah atau menyampaikan sesuatu. Hanya pada al Ghadir saja beliau meminta para sahabat dalam jumlah besar berkumpul untuk mendengarkan pesan penting ilahi yang hendak disampaikan. Banyak kewajiban-kewajiban seperti haji, solat, puasa, jihad dan lainnya yang telah Rasulullah sampaikan tapi tanpa menyuruh para sahabat untuk berkumpul. Kedua, hanya dalam Khotbah al Ghadir Rasulullah meminta para sahabatnya yang hadir untuk menyampaikan kepada yang tidak hadir dan para orang tua hendaknya menyampaikan kepada anak-anak generasi sesudahnya. Mereka yang hadir saat itu menyampaikan kepada generasi selanjutnya hingg sampai pada generasi kita dan kita juga berkewajiban untuk menyampaikan kepada generasi setelah kita. Ketiga, adanya penekanan untuk menyampaikan pesan khotbah kepada generasi-generasi selanjutnya,” tegasnya.

 

 

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top